»

About Me

Kamis, 31 Mei 2012

Konsekuensi Yuridis Dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Politik dalam Perkembangan Hukum Tata Usaha Negara

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan Peradilan tata usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara merupakan salah satu syarat sebuah negara yang berdasarkan atas hukum. Negara Indonesia adalah negara hukum, dan konstitusi mengatakan Indonesia adalah Negara Hukum, demikian tertulis dalam Konstitusi Tertulis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pada abad ke 19 dan permulaan ke abad ke 20 gagasan mengenai Negara hukum ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Istilah Rechtstaat untuk Eropa Kontinental, yaitu pendapat Friedrich Julius Stahl[1] :
a.    Hak-hak asasi manusia
b.    Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.
c.    Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan
d.   Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Prof Dr. Muchsan SH, Peradilan Administrasi memiliki kompetensinya sendiri, sehingga hanya sengketa-sengketa administrasi sajalah yang diperiksa dan diadili oleh pengadilan administrasi. Sedangkan suatu sengketa dapat dianggap sebagai sengketa administrasi, apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut[2] :
a.       Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum serta terletak dalam lapangan HTN atau HAN, yang dapat diterapkan pada suatu perselisihan;
b.      Adanya suatu perselisihan yang konkret;
c.       Adanya sekurang-kurangnya dua pihak, di mana salah satu pihak ataupun ke dua-duanya merupakan alat administrasi negara yang sedang menjalankan fungsinya;
d.      Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan tersebut.
Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai objek gugatan di Pengadilan TUN yang dalam beberapa tahun terakhir ini marak digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal berada di luar lingkup Tata Usaha Negara, tetapi substansinya merupakan urusan pemerintahan, misalnya: Surat-surat Keputusan Ketua DPRD mengenai penentuan bakal calon Bupati, Walikota, dan sebagainya, ataupun juga Surat-surat Keputusan Ketua Partai Politik, dan sebagainya..

Demikian juga, ada gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa surat-surat Keputusan Pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada di luar urusan pemerintahan (eksekutif), misalnya: dibidang ketatanegaraan, atau berkaitan dengan bidang politik. Sebagai contoh, surat keputusan Menteri dalam negarai yang melantik Bupati dan wakil Bupati pun di gugat di pengadilan tata usaha negara[3]. Dalam bidang Hukum Tata Usaha Negara ada beberapa macam keputusan tata usaha negara yang dikecualikan yang bukan menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu :
Pasal 2 butir (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 2 butir (1) UU No. 9 Tahun 2004, yang berbunyi:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
(2) Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat umum
(3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
(4)Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan bersadarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
(5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikelauarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai angkatan bersenjata republik indonesia
(7) Keputusan Panitia Pemilihan, baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Berdasarkan hal tersebut maka timbul permasalahan yaitu Bagaikanakah Konsekuensi Yuridis dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Politik dalam perkembangan Hukum Tata Usaha Negara ?










BAB II
PEMBAHASAN
A.  Yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi absolut Peradilan TUN diatur di dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 Angka (3) di atas dapat dipahami bahwa suatu KTUN adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat TUN (atau Jabatan TUN) berdasarkan wewenang yang ada padanya (atributie) atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintah (delegatie). Selanjutnya apa yang dimaksud dengan “urusan pemerintah”?
Penjelasan Pasal 1 Angka (1) menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah “kegiatan yang bersifat eksekutif”. Dengan demikian, tidaklah termasuk di dalamnya kegiatan yang bersifat legislatif dan yudikatif (jika bertitik tolak pada teori trias polika Montesquieu dalam ketatanegaraan mengenai pembidangan kekuasaan Negara).
Salah satu kata kunci yang penting dalam suatu KTUN adalah adanya “wewenang” atau “kewenangan” yang selalu harus ada dan yang menjadi dasar berpijak bagi Pejabat TUN untuk dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dan khususnya dalam hal ini adalah menerbitkan keputusan-keputusan TUN sebagai salah satu instrumen yuridis dalam menjalankan pemerintahan. Wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan tersebut dapat dilakukan melalui perbuatan atau tindakan yang bersifat atau menurut hukum publik, maupun yang bersifat atau menurut hukum privat.
Salah satu ciri yang terpenting dalam penerapan wewenang menurut hukum publik tersebut (terutama dalam menerbitkan Keputusan-keputusan TUN) adalah bahwa penerapan wewenang yang demikian itu membawa akibat atau konsekuensi hukum, yaitu lahirnya hak dan kewajiban yang bersifat hukum publik bagi warga masyarakat yang bersangkutan, kewenangan mana dapat dipaksakan secara sepihak (bersifat unilateral).[4] Pada dasarnya wewenang hukum publik dikaitkan selalu pada jabatan publik yang merupakan organ pemerintahan (bestuurs orgaan) dan menjalankan wewenangnya dalam fungsi pemerintahan, yang dalam segala tindakannya selalu dilakukannya demi kepentingan umum atau pelayanan umum (public service). Pada organ pemerintahan yang demikian, melekat pula sifatnya sebagai pejabat umum (openbaar gezag). Pasal Angka (2) UU No. 5 Tahun 1986 merumuskan Badan atau Pejabat (jabatan) TUN secara sangat umum, yaitu bahwa:
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rumusan di atas sedemikian luasnya, sehingga “Apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut undang-undang ini ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN”.


B.       Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikecualikan
Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 sebagaiaman telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 menyebutkan bahwa :
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
1        Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2        Keputusan tata usaha negara yang bersifat umum
3        Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan
4        Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan bersadarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5        Keputusan tata usaha negara yang dikelauarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6        Keputusan tata usaha negara mengenai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
7        Keputusan Panitia Pemilihan, baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Menurut Prof. Dr. Muchsan, SH,[5] dalam Hukum tata usaha negara ada Keputusan tata usaha negara yang dikecualikan yaitu :
a.       KTUN yang bersifat Kontraktual
b.      KTUN yang dikeluarkan dalam keadaan darurat
c.       KTUN yang bersifat umum.
d.      KTUN dibidang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
e.       KTUN yang bersifat Politik.

C.  Pengecualian KTUN yang Bersifat Politik
Dalam beberapa kasus ternyata banyak gugatan yang diajukan merupakan Keputusan Tata usaha negara yang bersifat Politik, misalkan gugatan tersehadap Surat Keputusan Menteri dalam Negeri yang memlantik dan mengangkat Bupati/wakil Bupati yang dimengkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan digabung terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara), menyiratkan bahwa keputusan keputusan atau ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah mengenai hasil Pemilihan Umum, tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam Surat Edara Mahakamah Agung Nomor 7 tahun 2010 mengatakan bahwa : Ketentuan tersebut secara tegas dan eksplisit menyebutkan "hasil pemilihan umum ", hal mana menunjukkan bahwa yang dituju adalah keputusan yang berisi hasil pemilihan umum sesudah melewati tahap pemungutan suara dan yang dilanjutkan dengan penghitungan suara. Dalam hal ini perlu dibedakan dengan tegas antara dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan PEMILUKADA, dan di lain pihak keputusan-keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum.[6] Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa keputusan KPUD yang terkait penetapan calon dan sebagainya sebelum dilakukan pemungutan suara adalah keputusan tata usaha negara yang dapat dijadikan Objek Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian para pengacara dalam melayani klaiennya karena terdapat beberapa kasus yang sebenarnya bukan ranah PTUN di gugat di PTUN, padahal di dalam beberapa kasus pula itu menjadi Kompetensi Mahkamah Konstitusi. Misalkan keberatan terhadap recall yang dilakukan partai Politik terhadap Anggotanya di Parlemen/ DPR/ DPRD, itu merupakan otoritas partai politik jadi baik permohonan terhadap undang-undang yang mengatur tentang DPR, MPR, DPRD itu adalah kewangan Mahkamah Konstitusi, begitu pula Keputusan Keputusan tata usaha negara yang bersifat politik terkait hal tersebut bukanlah kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Indroharto mengatakan bahwa walaupaun keputusan panitia itu benar merupakan keputusan (Beschikking), namun apabila setiap keputusannya mengenai hasil pemilihan umum itu dapat disengkatan di Peradilan tata usaha negara yang akibatnya bisa batal keputusan panitia pemilihan yang bersangkutan itu, maka dikhawatirkan akibat negatifnya akan sangat besar dan luas serta berdampak politis yang besar. Jadi alasan pengecualian ini sebenarnya berada diluar bidang hukum.[7]  Alasan tersebut bersifat metayuridis kendatipun demikian dalam perkembangannya KTUN yang dikecualikan khususnya yang bersifat politik sudah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat dikatakan alasan tersebut sudah bahkan mempunyai alasan yang bersifat yuridis. Sebagai contoh hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU di gugat di Mahkamah Konstitusi.





BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsekuensi yuridis Keputusan tata Usaha negara yang bersifat Politik pengaruhnya terhadap perkembangan Hukum Tata Usaha Negara Di Indonesia, memberikan dinamika hukum tata usaha negara itu sendiri, dimana adanya gugatan yang objeknya KTUN yang bersifat Politik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
Yang pertama adalah KTUN yang bersifat politik itu bukanlah Keputusan Tata usaha Negara yang dapat di gugat di PTUN karena Pejabat yang mengeluarknya bukan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif),
Yang kedua KTUN Oleh KPU/KPUD pra Pemilu/Pilkada keputusanya merupakan keputusan yang bersifat eksekutif sehingga dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Yang ketiga adalah KTUN yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan di bidang Partai politik, Partai Politik bukanlah lembaga Pemerintah sehingga segala keputusan yang terkait pemberhentian dan pengangkatan Anggota DPRD/DPRD merupakan keputusan yang bersifat politik terlebih lagi anggota partai politik tunduk pada AD/ART Partai Politik, sehingga menjadi kompetensi MK dan bukan PTUN untuk memberikan pendapat hukum.
Keempat adalah KTUN yang Bersifat Politik berdasarkan Putusan Yang bersifat tetap,yakni Putusan MK terkait sengketa Pemilu/Pemilukada tidak dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha negara, karena Melanggar asas Nebis In Idem.  


[1] Seperti disebut dalam Oemar Seno Adji  dalam Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Pustaka Utama, Jakarta, hal 113
[2] Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1981, hal 49-50
[3]Kalteng Pos, 24 maret 2012, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam amar keputusan no 153 tahun 2012 memenangkan gugatan pasangan Sugianto - Eko Soemarno (SUKSES) terhadap putusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang melantikan Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kobar Ujang Iskandar - Bambang Purwanto (UJI-BP) 30 Desember 2011 lalu.
[4] Dalam Kuliah Pernah Disampaikan Oleh Prof  Dr Muchsan SH dalam Kuliah Hukun Tata Usaha Negara pada Program Magister Hukum UGM Tanggal 30 Maret 2012 , Bahwa sebenarnya Perbuatan Hukum Publik Pasti bersifat sepihak” Perbuatah Hukum Publik yang Dua Pihak itu sebenarnya “diperdatakan” sedangkan perbuatan hukum Privat Pasti Dua Pihak.
[5] Muchsan, Disampaikan Pada Perkuliahan Hukum tata Usaha Negara Program Magister Hukum UGM, Yogjakarta, tanggal 13 April 2012.
[6] Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah
[7] Dalam Bukum Padmo Wahyono dkk, Pejabat sebagai Calon Tergugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Editor PJJ. Sipayung, diterbitkan atas kerjasama dengan KOPRIM PRAJAMUKTI I Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia sesuai dengan Surat persetujuan Kerjasma yang ditandatangai tanggal 15 agustus 1989, penerbit CV Sri Rahayu, Jakarta 1989. Hal 133

Tinjauan Yuridis Tentang Fungsi Pelayanan Pemerintah Dalam Mensejahterakan Bangsa

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Nasional Indonesia yang ada pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencakup empat hal, yaitu :
1.         Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.         Memajukan kesejahteraan umum.
3.         Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.        Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan keadilan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Keempat tujuan ini bila terpenuhi maka apa yang disebut dengan kesejahteraan dan keadilan sosial dapat dikatakan terwujud. Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa tujuan negara itu terdiri dari tujuan perlindungan (protection goal), tujuan kesejahteraan (welfare goal), tujuan mencerdaskan (education goal) dan tujuan kedamaian (peacefull goal).[1] Sejahtera ukurannya terpenuhinya sandang pangan, dan papan, sedangkan urusan pendidikan juga merupakan hal yang sangat penting terlebih-lebih dalam kehidupan yang serba maju peran pendidikan menentukan sumberdaya manusai, sehingga diperlukan akses yang mudah agar dapat dinikmati oleh rakyat umunya. Kedamaian adalah tujuan akhir dari hukum, kedamaian disini ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, situasi yang kondusif tentram, aman dan damai adalah kehendak seluruh rakyat dalam sebuah negara yang berdasarkan atas Hukum. Dengan demikian maka terwujudlah negara Indonesia sebagai Negara Welfare State. Untuk mencapai tujuan negara tersebut maka peranan pemerintah sangatlah besar sehingga monopoli negara diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 telah diatur mengenai hak monopoli Negara yaitu dalam Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan :
a.       Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
b.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c.       Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
d.      Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
e.       Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Hak Monopoli disini diartikan sebagai kekuasaan pemerintah untuk mengatur, baik dalam bentuk regulasi maupun kebijakan terhadap faktor-faktor produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak agar terwujud kesejahterakan masyarakat. Dalam tataran Implementasinya terjadi hubungan (rechtbetrekking) yang dilakukan pemerintah dengan warga negaranya, Balifante dan Boeharnoeddin Soetan Bateah mengutarakan yang disebut dengan Hubungan Hukum Administrasi adalah suatu hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara, yang dalam kehidupan dimasukan dalam tindakan hukum administrasi yang tidak terdapat dalam hukum perdata.[2] Dalam hubungan yang khas tersebut Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) sesuai dengan teori system welfare state jadi Negara berkewajiban mensejahterakan rakyatnya. Dengan adanya fungsi public service berarti pemerintah tidak hanya melaksanakan peraturan perundang-undangan saja (fungsi eksekutif), akan tetapi mengikat juga melaksanakan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan fungsi pemerintahan terbagi menjadi dua yaitu, pertama sebagai besturn functie (fungsi memerintah) dan yang kedua yaitu verzogen functie (fungsi pelayanan). Fungsi pertama yaitu fungsi memerintah atau fungsi pokok pelaksanaan aparat pemerintah sendiri wajib melaksanakan sesuai bidangnya masing-masing dapat dicontohkan jaksa wajib melaksanakan fungsi menuntut dalam persidangan. Fungsi kedua yaitu fungsi pelayanan atau fungsi relative, memang diartikan secara harfiah fungsi relatif disini dapat dilaksanakan dan atau tidak karena hanya berfungsi sebagai pelayanan namun dalam pelaksanaan apabila fungsi relative ini tidak dilaksanakan maka akan berakibat terpengaruhnya tujuan Negara. Maka dari paparan diatas penulis akan menjabarkan secara sederhana tentang “TINJAUAN YURIDIS TENTANG  FUNGSI PELAYANAN PEMERINTAH DALAM MENSEJAHTERAKAN BANGSA”
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan hukum sebagai berikut :
Bagaimana Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Fungsi Pelayanan Yang Dilakukan Oleh Aparat Pemerintah untuk mensejahterakan Bangsa Indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN
Kefungsian dalam kajian hukum administrasi negara dalam hal fungsi yang diemban oleh aparat pemerintah sangat penting adanya, agar berjalannya tugas atau kewajiban yang diberikan oleh negara sehingga berjalannya sistem pemerintahan yang bertujuan mensejahterakan bangsa. Secara garis besar fungsi pada alat pemerintahan terbagi 2, yaitu:
1. Besturn functie atau sering disebut fungsi memerintah dan dalam pelaksanaannya sebagai fungsi pokok, Terkait istilah Fungsi Pokok ini, Prof Dr. Muchsan tidak sependapat, karena bila ada fungsi pokok berarti ada fungsi tambahan, sehingga menurutnya istilah yang tepat adalah Fungsi yang Absolut.[3]
2. Verzorgen functie atau fungsi pelayanan dan dalam pelaksanaanya sebagai fungsi relatif .
Fungsi pertama diatas sering ditemukan dalam kehidupan bernegara bagaimana alat atau aparat pemerintah menjalankan fungsi pokoknya seperti fungsi hakim yaitu memutuskan sebuah perkara dipersidangan. Dalam hal tersebut dapat dilihat secara eksplisit bahwasanya apabila fungsi pertama ini tidak dijalankan akan mengakibatkan konsekuensi baik secara hukum maupun sosial sehingga senang atau tidak senang fungsi pertama ini harus dilaksanakan. Fungsi yang kedua yaitu fungsi pelayanan atau dalam pelaksanaanya sebagai fungsi relatif. Dalam pelaksanaannya fungsi relatif dapat tebagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1.      Aparat pemerintah sendiri yang tampil, dalam pengertian ini dapat ditarik kesimpulan pemerintahlah yang sendiri dan mandiri tampil sehingga menimbulkan hak monopoli, tujuan dari monopoli disini antara lain agar harga-harga bahan pokok terjangkau oleh masyarakat dan agar persedian dapat diatur oleh pemerintah sendiri sehingga dapat dikatakan pemerintah menjamin akan ketersedian bahan pokok yang ada dalam masyarakat.
2.      Aparat pemerintah bersama pihak swasta dasar hukum yang dipakai ialah adanya suatu perjanjian
3.      Swasta sendiri yang tampil dasar hukum yang dipakai ialah izin, jd pemerintah dikatakan sebagai pengawas dalam pelaksaan pemberi izin, izin terbagi lagi menjadi 4 bagian:
a) Vergunning (dalam arti sempit) maksudnya pemerintah acuh karena alasan tertentu namun dalam perkembangannya perlu diatur, contoh: izin membangun bangunan,
b) Dispencatie maksudnya sikap pemerintah sendiri melarang hanya karena alasan tertentu alasan larangan tersebut dibebaskan maka diterbitkanlah izin, contoh : pembuatan obat bius untuk kesehatan,
c) Consentie maksudnya izin diberikan kepada badan hukum baik perdata maupun publik dalam melaksanakannya, contoh : hak pengelolaan hutan (HPH)
d) Licentie maksudnya izin diperbolehkan untuk hak monopoli, contoh : pemberian izin memakai hak paten merk atau produk tertentu.
            Dimuka telah disinggung mengenai perbuatan hukum yang dilakukan oleh aparat Pemerintah sebagai tindakan hukum administrasi negara yang berbeda dengan perbuatan hukum dalam ranah hukum perdata, atau perbuatan pemerintah yang bukan perbuatan hukum (feitelijk handeling), di dalam makalah ini yang menjadi topik adalah perbuatan pemerintah yang merupakan perbuatan hukum (rechtelijk handeling) yakni perbuatan pemerintah yang mampu menimbulkan hak dan kewajiban. Perbuatan hukum dapat didasari oleh dua sumber hukum positif yakni hukum positif yang bersifat publik (Publiek Rechtelijk) dan Privat (Privaat Rechtelijk). Pada umumnya dalam kepustakaan hukum administrasi/tata usaha negara perbuatan hukum publik dibagi menjadi dua yakni perbuatan hukum publik bersegi satu dan perbuatan hukum publik bersegi dua.
Segi Satu
Segi dua
Segi Dua
Skema ini Bersumber dari Prof. Dr. Muchsan, SH[4]
Terkait dengan perbuatan pemerintah baik yang bersegi satu maupun bersegi dua, para sarjana memiliki pandangan yang berbeda satu dengan yang lain, Mr. S. Sybenga, Mr. Ir. M.M. Van Praag, tidak membenarkan adanya perbuatan hukum publik bersegi dua, semua perbuatan publik pasti bersegi satu[5]. Alasannya yang dikemukakan bahwa pada hakekatnya perbuatan pemerintah adalah suatu perbuatan yang mengeluarkan atau memberhentikan berlakunya suatu peraturan. Oleh karenya dalam hal ini kehendak aparat pemerintah yang paling menonjol. Konsekuensinya, dalam hal yang bersegi dua maka tidak ada perbuatan pemerintah. Sarjana lain yang memiliki pendangan yang berbeda adalah Dr. E. Utrecht, SH, yang berpendapat bahwa mungkin saja perbuatan hukum publik ini bersegi dua. Hal ini disebabkan karena menurutnya yang dimaksud dengan perbuatan pemerintahan ialah tiap perbuatan yang dilakukan pemerintah dengan maksud menyelenggarakan kepentingan umum, termasuk baik perbuatan mengadakan peraturan maupun perbuatan mengadakan ketetapan atas perjanjian, bahkan termasuk juga perbuatan hukum privat yang bersegi satu maupun bersegi dua.[6] Prof. Dr. Muchsan, SH, memberikan Pendapat bahwa “semua perbuatan pemerintahan yang berdasarkan hukum publik sejauh perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah selaku Penguasa, meruapakan perbuatan hukum bersegi satu. Sebab kedudukan antara penguasa dengan yang dikuasai adalah tidak sejajar, akan tetapi labih pada hubungan hierarkis. Sedangkan perbuatan hukum yang berdasarkan hukum publik yang dilakukan oleh aparat pemerintah selaku organ dari pemerintah sebagai badan hukum bestuursorganen mungkin sekali bersifat bersegi dua maupun bersegi satu. Sebenarnya disini perbuatan tersebut merupakan pengkhususan dari hukum perdata (privat).[7] Apa yang disampaikan Oleh tersebut dapat dipahami dan disetujui, karena pada prinsifnya aparat pemerintah merupakan subjek hukum yakni Jabatannya yang bersumber dari peraturan perundang-undangan sehingga bila melakukan hubungan hukum dengan warga negaranya maka “aparat itu mewakili” negara sebagai Organisasi jabatan sebagaimana yang pernah disampaikan Logemann.
         Berbicara tentang fungsi aparat pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan maka tidak jauh berbicara tentang fungsi pelayanan publik yaitu negara yang diwakilkan oleh para aparat pemerintah berkewajiban mensejahterakan rakyat atau secara teoritis sebagai welfare state. Welfare state adalah suatu tipe negara yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi warganya. Tipe negara ini muncul sebagai reaksi terhadap tahun krisis pada tahun 1930 yang merupakan pukulan berat dan melumpuhkan perekonomian yang ada didunia. Kegiatan industri, perdagangan dan lainnya berhenti akibatnya terjadi banyak pengangguran. Oleh karena itu situasi politik menjadi penting, dimana masyarakat sangat mengharapkan bantuan negara untuk mengatasi hal-hal tersebut.[8]
Konsep dari negara kesejahteraan (Welfare state) pertama kali dikemukakan oleh Beveridge. Dia adalah seorang anggota Parlemen Inggris. Konsep negara kesejahteraan menurut Beveridge didalam laporannnya yang mengandung suatu program sosial, dengan perincian antara lain :
1.      Meratakan pendapatan masyarakat;
2.      Usaha kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal (from the craddle for the grave);
3.      Mengusahakan lapangan kerja yang seluas-luasnya;
4.      Pengawasan atas upah oleh Pemerintah;
5.      Usaha dalam bidang pendidikan disekolah-sekolah, pendidikan lanjutan/ latihan kerja dan sebagainya.[9]
Dari konsep-konsep dikemukakan oleh Beveridge mendasari akan lahirnya Welfare State. Suatu konsenkuensi logis dari adanya negara yang bertipe welafare state ini ada campur tangan yang cukup besar dari pihak Pemerintah terhadap aspek-aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat.
            Dalam pelaksanaanya dengan mengacu konsekuensi negara welfare state haruslah fungsi pelayanan dari aparat pemerintah harus menjujung dan asas-asas penyelenggaraan publik. Pelayanan publik (public service) secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalaha memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :
1.      Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;
2.      Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;
3.      Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan efektivitas;
4.      Partisitipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat;
5.      Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lainnya;
6.      Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.[10]
Kualitas/mutu pelayanan diatas diakomodir oleh Negara Indonesia tepatnya diatur dalam bagian asas-asas pelayanan publik dalam UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik pada pasal 4, yaitu :
a.       Kepentingan umum
b.      Kepastian hukum
c.       Kesamaan hak
d.      keseimbangan hak dan kewajiban
e.       keprofesionalan
f.       partisipatif
g.      persamaan perlakuan/tidak diskriminatif
h.      keterbukaan
i.        akuntabilitas
j.        fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan
k.      ketepatan waktu; dan
l.        kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Mutu / kualitas yang termakstud dalam undang tersebut juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penjelasan pengertian asas-asas tersebut menurut Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme :
1)             Asas Kepastian Hukum
Asasdalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan.
2)             Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3)             Asas Keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak-hak asas pribadi, golongan dan rahasia.
4)             Asas Proporionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
5)             Asas profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6)             Asas Akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Secara yuridis pelayanan publik diartikan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik, ketentuan ini diatur dalam pasal satu UU pelayanan publik. Dikorelasikan dengan fungsi pelayanan dari aparat pemerintah dapat dikatakan tidak akan jauh dengan bagaimana aparat pemerintah memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan bertanggung jawab. Banyak pendapat-pendapat yang mengemukakan bahwasanya pelayanan publik yang secara implemantatif dirasakan masih jauh dari harapan sehingga tujuan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya dinilai masih belum terpenuhi.



BAB III
PENUTUP
Fungsi pelayanan dari aparat pemerintah dapat terbagi menjadi 3 (tiga). Pertama, pihak pemerintah sendiri yang tampil yang bertujuan untuk memenuhi hak dasar dari masyarakat dalam hal ini maka timbulah hak monopoli dari pemerintah. Kedua, pemerintah bergandeng dengan pihak swasta hal ini dapat kita temukan untuk melaksanakan tujuan negara dalam bidang pencerdasan kehidupan bangsa pihak swasta dan pemerintah bersama-sama melaksanakannya. Ketiga, pihak swasta sendiri yang tampil dalam pelaksanaan namun masih dikontrol oleh pemerintah dengan menerbitkan izin. Secara yuridis fungsi pelayanan aparat pemerintah dapat ditemukan dalam UUD 1945 maupun UU yang ada dibawahnya, tujuan dari pelaksanaan fungsi pelayanan ini tidak lain adalah mewujudkan tujuan negara yaitu mensejahterakan Bangas Indoensia yang sangat Besar dengan Sumberdaya Alam yang melimpah Pula, SEMOGA. AMIN.




[1] Muchsan, Catatan Kuliah Pada Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, Lihat Juga Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah danPeradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Jogjakarta, 2007, hal 8
[2] Balifante dan Boehanoeddin Doetan Bateah, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Binacipta, Jakarta, 1983, hal. 33
[3] Muchsan, Disampaiakan Pada Kuliah Program Magister Hukum Kenegaraan UGM, Pada tanggal 30 Maret 2012
[4] Mucsan, beberapa Catatan, Op. Cit hal. 19
[5] Ibid, Hal. 20
[6] Ibid, hal 20
[7] Ibid, hal 20-21, Dalam Kuliah Pernah Disampaikan Oleh Prof Muchsan dalam Kuliah Hukun Tata Usaha Negara pada Program Magister Hukum UGM Tanggal 30 Maret 2012 , Bahwa sebenarnya Perbuatan Hukum Publik Pasti bersifat sepihak” Perbuatah Hukum Publik yang Dua Pihak itu sebenarnya “diperdatakan” sedangkan perbuatan hukum Privat Pasti Dua Pihak.
[8]Ibid, hal 7
[9] Ibid, hal 8
[10]Lijan Poltak Sinambela, dkk, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara,Jakarta, 2008. hal. 6