»

About Me

Selasa, 26 Juni 2012

DISKRESI PEMERINTAH DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA


Kewenangan Diskresi Pemerintah Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa
Latar Belakang
            Terkait pengadaan barang dan jasa yang didasarkan kewenangan diskresi pemerintah yakni pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung memiliki kekhasan tersendiri karena tidak seperti pengadaan barang/ jasa pada umumnya yang melalui lelang. Pengadaan barang dan jasa dengan cara penunjukan langsung merupakan pelaksanaan dari kewenangan diskresi aparat pemerintah untuk menggunakan dan membelanjakan keuangan negara sehingga harus dapat dipertanggungjawabkan aspek kemanfaatan sebagai tujuan. Aktivitas pengadaan barang dan jasa terdapat 3 (tiga) pelaku utama yaitu pengguna/pengusul, penyedia barang/jasa dan pelaksana pengadaan.Tanggung jawab dalam pengadaan barang dan jasa tertuju kepada pihak-pihak yang memiliki kecakapan hukum baik secara perorangan, jabatan maupun korporasi. Diskresi rentan untuk dianulir baik secara politik maupun secara hukum, terlebih lagi bila diskresi itu sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang pada prinsipnya menekankan aspek legalitas.
Pada dekade 1980-an, Sumitro Djojohadikusumo melansir, kebocoran anggaran Negara mencapai 30% setiap tahunnya. Di sisi lain, riset CIDES pada akhir 1990-an juga menyampaikan, biaya produksi perusahaan hampir 30% tidak berkait langsung dengan ongkos produksi riil, tapi lebih banyak berkaitan pungli, yang menimbulkan high cost economy. Bahkan, hingga saat ini pun, potensi kebocoran APBN terus menggelayut. Hasil audit BPK (2011) melansir, dalam kurun waktu tujuh tahun (2003-2010), jumlah APBN yang tidak jelas peruntukannya mencapai Rp103 triliun. Komposisi terbesar kebocoran terletak pada dana pengadaan barang dan jasa.  Indikatornya, terlihat pada penetapan harga perhitungan sendiri selalu lebih mahal 20-30 persen dari harga pasar. Bank Dunia pun pada 2008, melansir tingkat kebocoran anggaran pengadaan sekitar 10-50 persen.[1] "Sekitar 70-80 persen kasus korupsi yang ditangani KPK adalah pengadaan barang dan jasa," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., Rabu, 18 April 2012. Johan mengatakan, proyek pengadaan tersebut sangat rawan dikorupsi oleh pihak-pihak terkait. Di samping dengan cara penunjukan langsung, juga melalui penggelembungan harga barang dan jasa.[2] Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan penunjukan tidak serta merta menjadi tindak pidana korupsi, karena ada penunjukan langsung yang sesuai dengan ketentuan. Dengan demikian maka tolok ukur ataupun parameter dalam mengawasi kebijakan dalam pengadaan barang dan jasa dengan penunjukan langsung harus terdapat patokan yang jelas baik aspek kewenangan, substansi dan prosedur demi menjamin kepastian hukum. Salah satu contoh pengadaan barang dan jasa yang berdasarkan kebijakan dan telah menjadi kasus korupsi, sebut saja kasus mantan Menteri Kesehatan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk buffer stock/KLB oleh kepala pusat penanggulangan masalah kesehatan 2005[3], kasus Bulog/Akbar Tandjung, dan lain-lain. Banyaknya kasus yang melibatkan aparat pemerintah dalam pengadaan barang/jasa menunjukan bahwa kewenangan diskresi yang terlalu besar berpotensi dilakukannya penyalahgunaan wewenang sehingga kebijakan diskresi bukan lagi sarana memberikan manfaat melainkan kerugian dibidang keuangan negara untuk diperlukan akuntabililtas dalam pelaksanaanya.
Berdasarkan kewenangan diskresi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa maka penulis mencoba mengembangkan dua permasalah yang menurut penulis perlu untuk didalami lebih jauh yaitu :
1.    Bagaimanakah konsep kewenangan diskresi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa?
2.    Bagaimanakah kontrol hukum atas tindakan diskresi pemerintah yang menggunakan dalam pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung?








BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Diskresi
Sebagai sebuah negara hukum tentu sumber kewenangan pemerintah untuk menjalankan fungsinya bersumber pada peraturan perundang-undangan. kewenangan tersebut adan yang bersifat terikat dan bersifat bebas (diskresioner).[4] Dalam sebuah negara kesejahteraan welfare state ekspektasi rakyat terhadap pemerintah sangatlah besar, sehingga fungsi pemerintah juga menjadi luas guna mewujudkan harapan masyarakat. Dengan kondisi yang demikian tidak mungkin seluruh kebijakan pemerintah dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan sehingga kebebasan bertindak pemerintah diperlukan untuk mengisi kekosongan. Memang idealnya setiap langkah dan perbuatan penguasa harus berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, akan tetapi dalam kenyataannya ajaran wetmatigheid van bestuur ini kadang-kadang hanyalah fiksi belaka.[5] Diskresi merupakan kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap kondisi yang dihadapi.[6] Kebebasan mengambil keputusan sendiri tersebut seringkali menjadi sumber kontroversi manakala tolok ukur tiap pemangku kepentingan memberikan penilaian yang berbeda-beda terhadap tindakan diskresi. Konsep Kekuasaan diskresi pemerintah dapat dilakukan dengan pendekatan analitik, yuridis, dan filosofis[7]. Dengan pendekatan yang demikian konprehensif akan membantu memaknai konsep diskresi yang sesungguhnya.
Diskresi seringkali diperhadapkan dengan asas legalitas, dalam sebuah negara hukum asas legalitas menempati kedudukan utama. Konsep yuridis kekuasaan diskresi berimpitan dengan dan tarik menarik dengan konsep legalitas. Bila menerapkan asas legalitas secara kaku maka pemerintah akan mengalami kesulitan dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, karena setiap pemerintah harus menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif. Beranjak dari hal itu maka kekuasaan diskresi dapat dikatakan delegasi dari pembentuk undang-undang untuk melakukan tindakan nyata maupun tindakan hukum dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Krishna D. Darumurti mengatakan bahwa diskresi yang ada pada pemerintah tersebut merupakan sisa/residu dari kekuasaan pembentuk undang-undang yang tidak seluruhnya tercakup di dalam legislasi.[8] Memang senyatanya tidak semua peristiwa atau persoalan dapat dipecahkan oleh produk-produk legislatif, hal itu memberikan kebebasan pihak eksekutif sebagai pelaksana undang-undang untuk bisa mengambil kebijakan yang harus dipertanggung jawabkan.
B.       Diskresi dalam Pengadaan Barang/Jasa
Dalam sebuah negara berkembang peningkatan sarana baik fisik maupun sumberdaya manusia adalah hal yang pokok. Hal pokok karena tanpa infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai sebuah negara yang berkembang akan mengalami hambatan untuk mencapai tujuannya. Untuk mencapai tujuan itu salah satu bentuk yang nyata dari pemerintah adalah diadakannya pengadaan barang dan jasa. Pengadaan tersebut memerlukan anggaran yang besar baik yang bersumber dari APBN maupun APBD. dalam pelaksanaan pengadaan tersebut pihak pemerintah merupakan pihak yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa. Secara umum pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan lelang. Lelang sebagai sebuah proses yang harus dilakukan untuk pengadan barang dan jasa dalam keadaan yang normal, untuk keadaan-keadaan tertentu maka mekanisme lelang tidak diterapkan, melainkan dengan metode penunjukan langsung. Jadi kewenangan diskresi itu diwujudkan dalam menetapkan metode pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung.
Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pengadaan barang dan jasa adalah Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai metode pengadaan barang dan jasa dengan Penunjukan langsung. penunjukan adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa.[9] Metode ini merupakan metode yang khusus diterapkan pada keadaan tertentu dan terkait barang atau pekerjaan khusus. Terdapat perbedaan dalam Kepres No. 80 tahun 2003 dengan Perpres No 54 tahun 2010 dalam hal penunjukan langsung pengadan barang dan jasa.


Matriks Perbedaan Antara Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 terkait Metode Penunjukan Langsung Barang dan Jasa.[10]
Metode pengadaan
Kepres No. 80 Th 2003
Perpres No. 54 Th 2010
Penunjukan Langsung
a.    Keadaan tertentu adalah:
1). Penanganan darurat – dst.....(kalimat dianggap kurang jelas)
a. Keadaan tertentu adalah:
1)       penanganan darurat yang tidak dapat direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaiannya harus segera untuk:
a.      pertahanan negara, dan/atau
b.      keamanan masyarakat, dan/atau
c.      keselamatan/perlindungan masyarakat:
1) akibat adanya bencana alam dan/atau bencana nonalam dan/atau bencana sosial; dan/atau
2) dalam rangka pencegahan bencana; dan/atau;
3) akibat kerusakan infrastruktur yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan publik.
b.    Keadaan khusus adalah: dst.... hanya ada 5 jenis, diantara-nya:
- Pengadaan barang/jasa
yang bersifat rahasia










a.     Barang/pekerjaan khusus adalah....dst (ditambahkan 4 jenis barang/pekerjaan):
1.     pekerjaan pengadaan mobil, sepeda motor dan/atau
2.     kendaraan bermotor lainnya dengan harga khusus untuk pemerintah (Government Sales Operation/ GSO);
3.     sewa penginapan/ hotel; atau
4.     lanjutan sewa gedung/kantor, dan lanjutan sewa ruang terbuka atau tertutup lainnya.
§ Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat rahasia tidak lagi termasuk dalam kategori barang/jasa yang dapat dilakukan dengan Penunjukan lansung.
Batasan Penunjukan Langsung
• Keadaan tertentu, antara lain: batasan nilai ≤ Rp 50 juta
• Barang khusus
Tanpa batasan nilai untuk pengadaan dalam keadaan tertentu dan barang khusus

Dengan perbandingan dua ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa ketentuan yang baru (Perpres No 54 tahun 2010) lebih rinci memuat kriteria “Keadaan Tertentu” yang menjadi dasar diambilnya kebijakan. Keadaan tertentu inilah yang memberikan ruang bagi pejabat untuk menggunakan wewenang diskresi, karena undang-undang tidak merinci secara tegas bagaimana wewenang itu digunakan.[11] Yang menarik pengadaan barang/jasa yang bersifat rahasia tidak lagi termasuk dalam kategori barang/jasa yang dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa barang/jasa yang bersifat rahasia bukan lagi menjadi dasar kebijakan atau diskresi dalam menetapkan metode penunjukan langsung pengadaan barang/jasa.
Perpres No 54 tahun 2010 mengatur tentang kewenangan ULP/Pejabat Pengadaan untuk memilih sistem pengadaan pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.[12] Pemilihan penyedia barang/jasalainnya itu dilakukan dengan pelelangan yang terdiri atas pelelangan umum dan pelelangan sederhana, penunjukan langsung, pengadaan langsung, atau kontes/sayembara.[13] Sedangkan dalam pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi terdapat perbedaan, kalau pemilihan dalam pengadan barang/jasa itu terdapat pelelangan sederhana, lainnya halnya dengan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi terdapat pelelangan terbatas, selebihnya kedua-duanya sama.[14] sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dalam Perpres tersebut seperti keadaan darurat, kemudian barang-barang khusus/perkerjaan khusus.[15] Namun bila berbicara kewenangan siapa yang berwenang menetapkan penyedia barang/jasa dengan metode penunjukan langsung adalah Pengguna Anggaran, ULP dan Pejabat Pengadaan.
Pengguna Anggaran (pasal 8 ayat (1) huruf f Perpres 54/2010)
Unit Layanan Pengadaan (pasal 17 ayat (2) huruf g angka (2) Perpres 54/2010)
Pejabat Pengadaan (pasal 17 ayat (2) huruf h angka (1) Perpres 54/2010)
Menetapkan:
1.     Pemenang pada Pelelangan atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau
2.     Pemenang pada Seleksi atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).


Menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
a.    Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau
b.    Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
Menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
a.    Penunjukan Langsung atau Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan/atau
b.    Penunjukan Langsung atau Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)





C.      Para Pihak dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Dalam Perpres No 54 tahun 2010 tidak menjelaskan tentang pejabat yang berwenang sebagai pengguna anggaran, namun di atur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam undang-undang tersebut yang dapat menjadi Pengguna Anggaran/Pengguna  barang adalah Menteri/Pimpinan Lembaga bagi kementerian/lembaga yang dipimpinnya.[16] Ditingkat daerah yang menjadi pengguna anggaran/barang adalah gubernur, bupati/walikota[17]dan dilingkungan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) adalah kepala SKPD di lingkungan SKPD yang dipinpinnya.[18] Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.[19] sehubungan dengan pengadaan barang dan jasa maka secara rinci diatur mengenai kewenangan pengguna anggaran, ketentuan tersebut adalah Perpres No 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa.[20]
Kuasa Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pasal 1 Angka 6 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Sebagaimana definisi PA, definisi KPA tersebut mengacu pada definisi KPA dalam pasal 1 angka 18 UU No. 1 Tahun 2004.
Mengenai siapa yang dapat menjadi KPA tidak diatur, mengingat bahwa definisi KPA adalah pemegang kuasa dari Pengguna Anggaran, karena penetapannya berupa pelimpahan wewenang dengan memberi kuasa maka siapa saja dapat ditetapkan oleh PA sebagai KPA dengan pertimbangan tertentu. mengacu pada Perpres      No. 10 tahun 2010 KPA ada yang ditetapkan oleh PA untuk Kementerian/institusi pusat, di tingkat daerah ditetapkan oleh kepala daerah atas usul PA, dan KPA untuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ditetapkan oleh PA pada Kementerian/lembaga/institusi pusat lainya atas usul kepala daerah.[21] Dengan ditetapkanya KPA maka KPA memiliki kewenangan sesuai dengan pelimpahan oleh PA.[22] Arti kata pelimpahan dalam bahasa indonesia mempunyai makna “ proses, cara, perbuatan melimpahkan (memindahkan) hak, wewenang.[23] Jadi dalam konteks kedudukan kuasa pengguna anggaran dalam pengadaan barang dan jasa, kewenangan Kuasa Pengguna Anggaran adalah Kewenangan Pengguna Anggara sesuai dengan Perpres No 54 tahun 2010.
Kedudukan Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan dan Unit Layanan Pengadaan dalam pengadaan Barang dan jasa
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.[24] Kewenangan PPK secara lengkap diatur dalam pasal 11 Perpres No.54 tahun 2010.[25] Pasal 1 Angka 9 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dari definisi tersebut jelas bahwa dalam pengadaan barang/jas PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa, dan yang melaksanakan pengadaan adalah pejabat pengadaan yangmana kedudukan Pejabat Pengadaan secara fungsi sama dengan Unit Layanan Pengadaan (ULP). Khusus dalam pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung ULP dan pejabat mempunyai perbedaan dalam hal menetapkan penyedia barang/jasa seperti telah diuraikan sebelumnya.
Kedudukan Penyedia Barang dan Jasa
Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya.[26] Dari definisi yang diberikan oleh Perpres tersebut maka penyedian barang/jasa dapat berupa badan usaha atau perseorangan. Bagi badan usaha atau perseorangan yang ingin menjadi atau menjadi penyedia barang/jasa haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.[27]penyedia barang/jasalah yang melakukan dan melaksanakan pekerjaan yang telah disepakati dalam bentuk perjanjian/kontrak.
D.  Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Asas-asas umu pemertinahan yang baik merupakan asas yang menjadi acuan bagi pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Dari kalangan ahli asas-asas umum permerintahan yang baik itu berkembang melalui yurisprudensi atau putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan selalui diikutu oleh para hakim dalam memutus sengketa atau perkara yang diajukan. Walaupun secara doktrinal berkembang melalui yurisprudensi, para legislator juga tidak mau ketinggalan agar asas-asas tersebut dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Krishna D. Darumurti mengelompokan dua rumpun asas-asas umum pemerintahan yang baik, rumpun pertama adalah asas yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN dengan sebutan asas-asas umum penyelenggaraan negara, dan rumpun yang kedua adalah asas yang terdapat dalam doktrin hukum administrasi yang disebut dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kedua asas tersebut dapat dikelompokan dalam satu nama yaitu asas pemerintahan yang baik.[28] Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tersebut mencantumkan tujuh asas penyelenggaraan negara yaitu:
1.    Asas kepastian hukum
2.    Asas tertib penyelenggaraan negara
3.    Asas kepentingan umum
4.    Asas keterbukaan
5.    Asas proporsionalitas
6.    Asas profesionalitas
7.    Asas akutabilitas
Pengaturan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang diakui sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik oleh penjelasan pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 adalah enam asas yang terdapat dalam undang-undang Nomor 28 tahun 1999, kecuali asas kepentingan umum.
Pengadaan barang/jasa juga mengenal prinsip-prinsip yang dapat dikatakan sebagai asas yang mendasari praktek-praktek pengadaan barang dan jasa. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.    Efektif
b.    Efesien
c.    Transparan
d.   Terbuka
e.    Bersaing
f.     Adil/tidak diskriminatif
g.    Akuntabel
Prinsip-prinsip tersebut berlaku dalam semua tahapan pengadaan barang dan jasa, baik dengan metode lelang, maupun metode penunjukan langsung. Muchsan membagi dua kelompok besar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni :
a.    Asas-asas prosedural murni, yakni asas-asas yang berkaitan dengan cara pembentukan suatu perbuatan administratif. Apabila prosedur ini tidak diperhatikan pada waktu perbuatan administratif dilakukan, perbuatan tersebut harus dinyatakan batal, tanpa adanya pemeriksaan lebih mendalam.
Termasuk dalam asas ini, yakni :
a.1. Asas “that no man may judge in his own causa” atau juga disebut asas “likehood bias”.
       Dalam asas ini, seseorang yang memiliki pengaruh atas terjadinya suatu perbuatan administrasi dilarang mempunyai kepentingan dengan perbuatan tersebut.
a.2. Asas “audi et alterampartem”
       Asas ini menyatakan bahwa keputusan-keputusan untuk melakukan perbuatan administrasf yang bertentangan dengan kepentingan seorang warga masyarakat tidak boleh dikeluarkan sebelum warga masyarakat yang terkena oleh perbuatan tersebut diberi kesempatan untuk membela diri.
a.3. Asas yang menyatakan bahwa pertimbangan dari suatu perbuatan administratif harus serasi atau mendukung konklusi (diktumnya), dan pertimbangan tersebut harus berdasarkan fakta-fakta yang benar.
b.  Asas-asas yang terdiri dari ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang bersifat meterial. Asas ini tidak berkaitan dengan cara pembentukan suatu perbuatan hukum administratif, melainkan berkaitan dengan isi/materi dari perbuatan administratif itu sendiri. Termasuk dalam asas ini adalah :
b.1. Asas kepastian hukum (the principle of legal security)
       Berdasarkan asas ini, pemerintah harus selalu berpegang pada aturan mainnya sendiri, dan hanya boleh menyimpang dalam hal-hal yang istimewa (luar biasa)
b.2. Asas keseimbangan (the principle of proportionality)
       Asas ini menolak tindakan pemerintah sewenang-wengan (willekeur), dan tindakan yang tidak sama untuk peristiwa (kasus) yang sama.
b.3. Asas kecermatan/hati-hati (the principle of carefulness)
       Asas ini menuntut dari pemerintah tindakan yang bijak, tepat, dan hati-hati.
b.4. Asas ketajaman dalam menentukan sasaran (the principle of good object)
       berdasarkan asas ini setiap tindakan pemerintah harus diarahkan kepada tujuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
b.5. Asas permainan yang layak (the principle of fair play)
       Asas ini memberikan kesempatan yang sama kepada warganya untuk memberikan informasi selengkapnya dan untuk mencari keadilan. Dari pihak pemerintah sendiri diharapkan suatu sikap terbuka, itikat baik dan keiklasan.
b.6. Asas Kebijakan (the principle of cleverness)
       Asas ini menghendaki bahwa aparat pemerintah dalam melaksanakan tugasnya hendaknya berpandangan jauh kedepan. Maksudnya dalam menciptakan keputusan-keputusannya aparat pemerintah harus dapat meramalkan dengan tetap gejala-gejala sosial yang mungkin timbul yang dapat menunjang serta berkaitan dengan kaidah hukum konkret tersebut. Dengan adanya asas ini, maka keputusan pemerintahan diharapkan akan selalu sesuai dengan situasi dan kondisi, yang berarti keputusan tersebut mempunyai sifat kedinamisan yang tinggi.
b.7. Asas gotong royong (the principle of solidarity)
       Dalam prinsip ini terkandung suatu ajaran, bahwa merupakan kewajiban bagi aparat pemerintah dalam menciptakan produk-produk hukum, hendaknya menghayati dan memperhatikan rasa keadilan, kesadaran hukum dan kebudayaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian produk hukum yang dihasilkannya tidak hanya berdasarkan kesadaran hukum penguasa saja, akan tetapi merupakan perpaduan yang serasi antara kesadaran hukum penguasa dengan kesadaran hukum masyarakat.[29]
Dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya yang diadakan dengan metode penunjukan langsung, asas-asas umum pemerintahan yang baik memiliki peranan yang penting. Penting dikarenakan oleh posisinya sebagai sebuah paradigma dalam mengambil keputusan atau tindakan administrasi negara yang berhubungan dengan perencanaan sampai pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.  Dengan demikian asas-asas itu dapat tercermin dalam segala tindakan aparat pemerintah dalam rangka penegakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government).
E.  Hubungan Diskresi, Penyalahgunaan Wewenang dan Korupsi
Sebagaimana telah disinggung diawal tulisan ini, bahwa diskresi sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang pada suatu jabatan yang berpotensi menimbulkan keuangan negara, begitu juga halnya pada pengadaan barang dan jasa dengan metode  penunjukan langsung. Isu dugaan terjadinya korupsi saat ini menempati posisi yang luar biasa, ini dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan kasus korupsi baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal tersebut akan memberikan stigma bahwa “tiada hari tanpa korupsi”.  Robert Klitgaard dalam bukunya yang berjudul Corrupt Cities, a Practical Guide to Cure and Prevention (Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah) menjelaskan terjadinya korupsi dengan membuat rumus sebagai berikut:[30]
C = M + D – A
Keterangan
C  : Corruption;
M  : Monopoly Power
D  : Discretion by officials;
A  : Accountability
Rumus tersebut diajukan dalam kaitannya dengan strategi pencegahan (preventif) korupsi yang bersumber pada akar permasalahan muncul peluangnya korupsi, yaitu karena adanya monopoli kekuasaan (monopoly power) didukung oleh adanya kewenangan untuk mengambil keputusan (discretion by officials) namun tidak ada pertanggungjawaban (accountability). Dalam hal mengambil keputusan tentu aparat pemerintah harus mendasarkan diri pada kewenangnya baik kewenangan yang bersumber dari atribusi, delegasi dan mandat. Kaitan penyalahgunaan wewenang dengan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang menyebutkan :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.1.000.000.0000 (satu milyar rupiah). Dengan rumusan tersebut unsur-unsurnya adalah :
-       Pelaku (manusia dan korporasi)
-       Menguntungkan diri sendiri, orang lain, pelaku, atau korporasi
-       Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
-       Merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Dalam setiap kewenangan memiliki potensi penyalahgunaan, baik karena jabatan atau karena kedudukannya. Undang-undang tidak memberikan jenis jabatan atau kedudukan yang dimaksud. Ketentuan pasal 3 undang-undang tersebut diatas merupakan jenis tindak pidana yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan yang berkaitan dengan keuangan negara dan perekonomian negara, sehingga suatu kewenangan yang berhubungan dengan keuangan negara atau perekonomian negara pada umumnya adalah kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pejabat publik termasuk pengawai negarai.[31] Unsur penyalahgunaan kewenangan ditafsirkan Lilik Mulyadi secara sempit, yaitu bahwa korupsi dalam tipe ini diterapkan kepada pejabat negara/pegawai negari, karena hanya pada pegawai negarilah yang dapat meyalahgunakan jabatan, kedudukan dan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya.[32]
Mengingat bahwa baju uji tindakan diskresi adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik, dengan demikian maka untuk menjelaskan konsep penyalahgunaan wewenang Amiruddin menggunakan istilah “meminjam konsep yang ada pada hukum administrasi.[33] Penyalahgunaan wewenang (detorunement de puovoir) terjadi apabila aparat pemerintah menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum lain daripada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar wewenang itu. Dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik larangan penyelahgunaan wewenang memiliki parameter, yaitu :
a.    Tindakan bertentangan dengan tujuan kekuasaan/kewenangan
b.    Tujuan yang tidak tepat
c.    Penggunaan kewenangan secara patut;dan
d.   Penggunaan kewenangan sesuai denga tujuanya.[34]
Jadi tindakan penyalahgunaan kewenanga yang berhubungan dengan tindakan diskresi pemerintah haruslah dinilai apakah tindakan itu bertentangan dengan tujuan kewenangan, atau sudah tepatkan tujuan yang dicapai. Hal ini haruslah dilihat dari asas efesiensi dan efektivitas tindakan diskresi pemerintah, yang penekanannya terdapat pada aspek kebutuhan dan kemanfaatannya. Dengan demikian yang diperhatikan adalah dampak dari tindakan diskresi itu sendiri, yang mana oleh Krishna D. Darumurti dampak dari tindakan itu tidak hanya berlaku pada waktu tindakan terjadi, tetapi juga untuk jangka waktu tertentu, yaitu jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Pengujian yang demikian ratione temporis disebut dengan pengujian ex nunc.[35]
F.   Kontrol Hukum Terhadap Kekuasaan Diskresi dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pengawasan/kontrol terhadap perbuatan pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat dilakukan oleh sesama aparat pemerintah atau aparat lain yang berada diluar tubuh eksekutif secara fungsional. secara skematis, pengawasan tersebut dibedakan dalam dua jenis, yaitu pertama pengawasan administratif yang berbentuk pengawasan melekat dan pengawasan fungsional dan kedua adalah pengawasan oleh kekuasaan kehakiman, baik secara keperdataan, administrasi[36] dan juga pidana. Dalam tulisan ini penulis hanya membatasi pada fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga yudisial dalam pengadaan barang dan jasa, dimana aspek hukum admimistrasi lebih mendapatkan porsi yang lebih, karena pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung, merupakan pelaksanaan kewenangan diskresioner pemerintah.
Eko Prasojo, menyoroti kasus korupsi yang terkait dengan sejumlah menteri, Dia mengutarakan bahwa salah satu yang menjadi penyebabnya adalah kewenangan diskresi yang besar. Sampai saat ini penggunaan kewenangan diskresi di Indonesia masih dilakukan secara bebas, sesuai dengan terminologi yang dipergunakan yaitu Freis Ermessen.[37] Terlalu bebasnya kewenangan diskresi memerlukan sarana kontrol untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan yang akan mengatas namakan kekuasaan diskresi.
Kontrol terhadap kewenangan diskresi dapat melalui kontrol administratif, politik dan yudisial. Karena konsep diskresi merupakan konsep dalam hukum administrasi, dengan demikian norma hukum administrasi dijadikan instrumen untuk menilai apakah perbuatan diskresi tersebut perbuatan sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang. Perbuatan sewenang-wenang dan perbuatan penyalahgunaan wewenang sangat rentan terjadi dalam kewenangan diskresioner sehingga prinsif umum bahwa kebijakan tidak dapat diuji oleh lembaga yudisial menjadi luruh.[38] Kewenangan diskresi tidak diuji dengan wetmatigheid melainkan doelmatigheid, karena konsep diskresi berorientasi pada tujuan kemanfaatan, bukan kepastian hukum dalam arti harus sesuai dengang peraturan perundang-undangan, sehingga yang menjadi pijakan normatif pengujian tindakan diskresi adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Mencermati bahwa metode penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa merupakan tindakan diskresi aparat pemerintah, maka tindakan itu harus didasarkan pada tujuan kemanfaatan bagi kepentingan umum dengan memperhatikan asas-asas dan etika dalam pengadaan barang dan jasa[39].
Penanganan atas kasus korupsi yang melibatkan aparatur pemerintah tidak dapat dilihat dari salah satu aspek hukum saja yakni hukum pidana saja, tetapi juga aspek hukum administrasi negara, mengingat para pelaku dalam pengadaan barang dan jasa adalah pejabat negara dan juga pegawai negari sipil. Hal ini penting karena bertujuan memberikan pemahaman terhadap konsep “penyalahgunaan wewenang” dengan konsep melawan hukum atau melanggar hukum.[40] Dengan adanya pembedaan tersebut maka memudahkan dalam proses penegakan hukum yang mengangkut pengelolaan keuangan negara. Dengan pendekatan yang demikian maka akan diperoleh keadilan dalam penegakan hukum yang menempatkan subjek hukum sesuai dengan posisi atau jabatannya. Dalam kapasitas seseorang sebagai aparat pemerintah yang mengambil dan melaksanakan kewenangan diskresi tidak dapat dipisahkan posisinya sebagai pribadi, maupun sebagai pejabat yang sedang menjalankan fungsi pemerintahannya. Dengan demikian maka perbuatan melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum adalah tanggung jawab pribadi sedangkan sedangkan penyalahgunaan wewenang berdampak pada tanggung jawab jabatan.
Terdapat beberapa kasus yang telah terjadi yang didasarkan kewenangan diskresi yang kontroversial. Kasus tersebut diantaranya adalah kasus Release and Discharge BLBI, kasus Bulog/Akbar Tandjung dan Bail Out Century, dimana kasus-kasus tersebut sarat dengan muatan politik.[41] Dalam penulisan ini penulis merujuk pada  kasus penting, yaitu kasus Bulog/Akbar Tandjung yang dipaparkan oleh Amirudding.
Mengacu pada kasus tersebut Amiruddin memberikan analisis terhadap kasus Bulog/Akbar Tandjung yang penanganannya pada pengadilan tingkat pertama dan banding dengan menggunakan instrumen hukum pidana, tetapi penanganan pada tingkat kasasi salah satu pertimbangan Hakim Agung adalah menggunakan konsep hukum administrasi yaitu berkaitan dengan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi.[42] Putusan Mahkamah Agung Nomor 572/K/Pid/2003 (Khusus untuk Akbar Tandjung) adalah sebagai berikut:
-       Menyatakan terdakwa I: Ir. Akbar Tandjung tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair dan subsidair;
-       Membebaskan terdakwa dari dakwaan primair dan subsidair;
-       Memulihkan hak terdakwa tersebut dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan MA, antara lain berkenaan dengan unsur pasal 1 ayat (1) sub. B Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 sebagaimana dalam dakwaan primair, menurut MA bahwa unsur yang paling utama (bestanddeel delict) adalah “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.”[43] Dalam membuktikan unsur tersebut, MA telah tepat mempertimbangkan aspek tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, sebagai tercermin dalam pertimbangannya sebagai berikut[44]:
-       Bahwa manakala suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan seperti halnya yang didakwakan terhadap diri terdakwa ke-I, maka menurut hemat mahkamah agung hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum atau aspek hukum administrasi negara, dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungan jawab jabatan (liability jabatan) yang harus dibedakan dan dipisahkan dengan prinsip pertanggungan jawab perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) sebagaimana yang berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana.
-       Bahwa oleh karenanya ditinjau dari segi hukum administrasi negara pertanggungjawab atas keluarnya uang sejumlah Rp. 40.000.000.000 dari uang dana non budgeter Bulog bukanlah terdakwa I (Ir. Akbar Tandjung) dan tidak dapat dipersalahkan padanya, sebab terdakwa I sebagai Mensesneg dan Koordinator hanya menerima dan melaksanakan sesuai perintah jabatan Presiden dan Para Menterinya dalam sistem ketatanegaraan kita, berdasarkan ketentuan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, menteri adalah pembantu presiden, khususnya bagi seorang Mensesneg yang berfungsi sebagai pemberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari kepada presiden, bukan sebagai penentu keputusan (decision maker). Maka dengan landasan tersebut, responsability administrasi negara ada pada presiden, demikian pula in casu dikaitkan dengan Petunjuk atau desposisi Presiden dan tidak pada Menteri Sekretaris Negara karena bukan inisiatif menesesneg mengeluarkan Rp. 40 Miliar tersebut dari dana non budgeter Bulog, kecuali bilamana ternyata ada tindakan penyelewengan dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh menteri yang bersangkutan, yang harus dibuktikan dari segi hukum pidana atas tindak pidana yang didakwakan,dan menjadi tanggung jawab pribadi. Oleh karenanya, dalam kasus penyaluran sembako ini yang berawal mula dengan keluarnya dana sejumlah Rp. 40 Milyar dari dana non budgeter Bulog atas perintah dan persetujuan presiden, maka pertanggungan jawab yang berlaku adalah asas vicarious liability, yang intinya adalah bahwa atasanlah yang harus bertanggung jawab.
Mengacu pada pertimbangan tersebut, Amiruddin mengatakan bahwa telah terjadi pergerseran dalam menentukan ada atau tidaknya kesalahan terdakwa dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa, tidak saja ditinjau dari aspek hukum pidana, tetapi juga harus ditinjau dari aspek hukum administrasi. Dalam hukum administrasi, kesalahan jabatan menjadi tanggung jawab jabatan, dan kesalahan pribadi menjadi tanggung jawab pribadi, tanggung jawab pribadi adalah tanggung jawab pidana.[45] Tanggung jawab jabatan ini sebagai konsekuensi logis Jabatan sebagai subjek hukum. Muchsan, merujuk pada Pendapat Logeman bahwa negara adalah himpunan jabatan-jabatan yang diadakan oleh negara untuk mewujudkan tujuan negara, sehingga jabatan ini seolah-olah (sifat personefikasi) sebagai subjek hukum.[46] Dengan demikian maka benar jabatan itu mempunyai kapasitas sebagai pendukung hak dan kewajiban. Bila melihat pertimbangan MA tersebut, MA melihat struktur ketatanegaraan dengan melihat hubungan antara menteri dengan presiden, sehingga seluruh tanggung jawab adalah pada administrator tertinggi yaitu presiden.
Oleh karena itu adalah tepat, MA mempertimbangkan bahwa keluarnya uang sejumlah Rp.40 Milyar dari dana Non Budgeter Bulog bukanlah tanggung jawab pribadi Ir Akbar Tandjung dan tidak dapat dipersalahkan kepadanya, melainkan sebagai Mensesneg meneriman dan melaksanakan sesuai perintah (lisan) jabatan dari presiden RI. BJ. Habibie, sehingga apabila terjadi kesalahan maka kesalahan itu merupakan kesalahan jabatan dan pada gilirannya adalah menjadi tanggung jawab jabatan. Konsekuensi logis dari pertimbangan MA yang membedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi adalah berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata, dan tanggung gugat tata usaha negara.[47] Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam kaitannya dengan tindakan pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat apabila ada tindakan maladministrasi.[48] Dari kesimpulan MA tercermin bahwa apa yang dilakukan terdakwa adalah tidak termasuk tindakan maladministrasi, karena menurut MA bahwa:
“...apa yang dilakukan terdakwa I, yaitu menerima dana budgeter sebesar Rp. 40 Milyar kemudian diserahkan kepada terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada terdakwa I baik selaku MENSESNEG maupun selaku koordinator yang menangani program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut, tetapi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seorang koordinator/MENSESNEG dalam KEADAAN DARURAT sesuai dengan kewenangan diskresioner yang ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menenpuh prosedur dari cara-cara dalam keadaan nominal, terlebih pula penggunaan dan pengelolaan keuangan negara dalam bentuk dana non budgeter hanya diatur oleh apa yang disebut konvensi, tidak seperti halnya keuangan negara dalam bentuk APBN yang penggunaan dan pengelolaannya diatur oleh kepres, misalnya untuk pengadaan barang oleh pasal 21sampai dengan 30 dalam Kepres No 16 tahun 1999 dan Kepres No 18 tahun 2000 sebagaimana dikemukakan diatas;”
Mencermati Pertimbangan MA
“bahwa dengan demikian dalam memeriksa kasus perkara ini, oleh mahkamah agung dibedakan antara tahap fakta hukum mengenai keluarnya dana sejumlah Rp.40 Milyar dari dana non budgeter Bulog sampai pada tahap diserahkan dan diterimanya beberapa cek sejumlah dana tersebut oleh terdakwa I, yang harus ditinjau dari aspek hukum administrasi negara. Sedangkan selanjutnya yaitu tahap fakta hukum mengenai pelaksanaannya dan penyerahannya sejumlah dana Rp.40 milyar tersebut terdakwa I kepada terdakwa II dan terdakwa III serta penyaluran selanjutnya, harus ditinjau dari aspek hukum pidana dan dibuktikan atas dasar hukum pidana,”
Pembagaian fakta tersebut adalah sudah tepat, menurut Philipus M Hadjon kedudukan terdakwa I (Ir. Akbar Tandjung) adalah sebagai pejabat negara. Sebagai pejabat negara yang mengemban wewenang pemerintahan pada dasarnya tunduk pada norma hukum administrasi. Legalitas penggunaan wewenang pemerintahan harus diukur dengan norma hukum administrasi, baik tertulis berupa peraturan perundang-undangan maupun tidak tertulis berupa asas-asas umum pemerintahan yang baik.[49] Dari aspek hukum administrasi ada tiga isu yang perlu ditelaan yaitu isu keadaan darurat, isu kewenangan diskresioner (discretionery power), dan isu penyalahgunaan wewenang.[50]
Berkenaan dengan isu “keadaan darurat” MA mempertimbangkan “bahwa perbuatan terdakwa I menerima uang non budgeter sebesar Rp.40 milyar, kemudia menyerahkannya kepada terdakwa II untuk dibelikan sembako, adalah dalam rangka melaksanakan instruksi Presiden sebagai hasil rapat terbatas Presiden B.J. Habibie, MENKO KESRATASKIN, MENPERINDAG/KABULOG dan MENSESNEG, sehubungan keadaan darurat untuk tindakan pengadaan sembako dan penyaluran sembako. Menurut Philipus M Hadjon, keadaan darurat adalah situasi emergency dan dalam hubungan dengan situasi tersebut tidak ada dasar hukum yang mengaturnya. Kondisi ini melahirkan discretionery power dalam konsep hukum administrasi. Discretionery Power adalah sifat aktif dari kekuasaan pemerintah, artinya dalam situasi dibutuhkan, pemerintah tidak boleh berdiam diri hanya dengan alasan tidak ada ketentuan hukumnya.[51]
 Berkenaan isu penyalahgunaan wewenang, MA memberikan kesimpula bahwa “..apa yang dilakukan terdakwa I, yaitu menerima dana bidgeter sebesar Rp.40 milyar kemudian diserahkan kepada terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada terdakwa I baik selaku MENSESNEG maupun sebagai Koordinator yang menangani program pengadaan dan penyaluran sembako.
Jadi berdasarkan analisis terhadap putusan MA tersebut diatas dapat di ambil point penting yaitu pertama terkait konsep jabatan sebagai subjek hukum serta pola pertanggung jawabannya, kedua terkait penayalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi harus memperhatikan dan menggunakan konsep hukum administrasi, ketiga adalah berkaitan dengan kewenangan diskresi pemerintah yang timbul karena adanya keadaan darurat.



BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan terkait konsep diskresi dalam pengadaan barang dan jasa dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Konsep diskresi dalam pengadaan barang dan jasa terwujud dalam pemilihan metode penunjukan langsung. Sebagai sebuah tindakan diskresi maka orientasinya adalah kemanfaatan (doelmatigheid) sebagai salah satu nilai hukum yang hendak diwujudkan.
2.      Keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan rambu-rambu dalam melakukan perbuatan diskresi, baik dari aspek prosedural maupun aspek substansial, untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat yang melakukan tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa yang mengakibatkan kerugian negara.
3.      Kontrol yudisial terhadap tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan kontrol terhadap ada atau tidaknya perbuatan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. Patokannya ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang adalah tujuan dari kewenangan diskresi itu terwujud atau tidak, sebagai konsekuensi diskresi berorientasi pada manfaat.
4.      Dalam hal hakim menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik untuk menguji tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa harus menentukan dengan jelas, asas apa yang menjadi pertimbangan hukum dalam mengambil keputusan tindakan diskresi aparat pemerintah.










DAFTAR PUSTAKA
I.     Buku-buku
Amiruddin, 2010, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publising, Yogjakarta.
D. Darimurti, Krishna, 2012, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Kajian mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana Kontrol, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muchsan, 2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogjakarta.
Saidi, Muhammad Djapar, 2011, Hukum Keuangan Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta.
Witanto, D.Y., 2012, Dimensi Kerugian Negara dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Resiko Kontrak dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah), Mandar Maju, Bandung.
II.      Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-undang nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kepres Nomor  80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah
Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
III.   Internet
http://ekoprasojo.com/2012/04/03/korupsi-politik-dan-politik-korupsi/



[1]Mukhaer Pakkanna Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta, Parasit Ekonomi, http://stiead.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=140&Itemid=64 diakses pada tanggal 5/06/2012 jam 8:10
[4] Mengikat artinya rumusan peraturan perundang-undangan sifatnya mendikte saja apa yang harus dilakukan oleh penguasas yang bersangkutan sehingga penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat terikat ini merupakan pelaksaan dari asas wetmatigheid van bestuur. Bersifat bebas, dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan memberi ruang gerak kebebasan kepada pemerintah dalam penggunaan wewenang tersebut. Muchsan, 2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, hal 12-13
[5] Ibid
[6] http://www.kamusbesar.com/9203/diskresi
[7] Pendekatan analitik akan memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan konsep diskresi pemerintah dan apa yang tidak, konsep diskresi dengan pendekatan yuridis akan memandang diskresi sebagai produk hukum, suatu kondisi yang dituntut oleh hukum untuk diadakan, secara filosofis diskresi  akan dipandang sebagai suatu konsep normatif produk dari sistem nilai tertentu. Krishna D. Darumurti, 2012, Kekuasaan Diskresi Pemerintah kajian Mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana Kontrol, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 13-14
[8] Ibid hal 25
[9] Pasal 1 angka (31) Perpres No. 54 tahun 2010
[10] http://yogyakarta.kemenag.go.id/file/file/PERPRES/tdax1327649553.pdf
[11] Amiruddin, 2010, Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publising, Jogjakarta, hal 40
[12] Pasal 35 ayat (1) Perpres No 54 tahun 2010
[13] Pasal 35 ayat (2) Perpres No 54 tahun 2010
[14] Perbandingan Pasal 35 ayat (2) dan (3) Perpres No 54 tahun 2010
[15] Lihat pasal 38 Perpres No 54 tahun 2010
[16] Pasal 4 ayat (1)UU No 1/2004
[17] Pasal 5 ayat (1) UU No 1/2004
[18] Pasal 6 ayat (1) UU no 1/2004
[19] Pasal 1 angka (5) Perpres No 54/2010 Jo pasal 1 angka (12)UU No 1/2004
[20] Lihat pasal 8, 9 Perpres No 54/2010
[21] Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) Perpres No 54/2010
[22] Pasal 10 ayat (4) Perpres No 54/2010
[23] http://kamusbahasaindonesia.org/pelimpahan
[24] Pasal 1 angka (7) Perpres No 54/2010
[25] Di antaranya adalah menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang meliputi spesifikasi teknis barang/jasa, harga perkiraan sendiri (HPS) dan Rancangan Kontrak. Menerbitkan Surat penunjukan Penyedia Bangrang/jasa, menandatangi, melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan kontrak. Selain tugas pokok tersebut dahal hal diperlukan diantaranya PPK dapat mengajukan perbuahan paket pekerjaan dan perubahan jadwal kegiatan pengadaan.
[26] Pasal 1 angka (12) Perpres No 54/2010
[27] Lihat pasal 19-21 Perpres No 54/2010
[28] Krishna D. Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah... Op. Cit hal 69
[29] Muchsan, 2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Jogjakarta, hal 29-31
[30] Dikutip oleh Amiruddin, Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, Op. Cit hal 14-15
[31]D.Y. Witanto,2012, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Resiko Kontrak dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah), Mandar Maju,  Bandung, hal 64
[32] Ibid
[33] Amiruddin, Kerugian Negara...Op Cit hal 202
[34] Krishna. D. Darumurti Kekuasaan Diskresi.... Op Cit hal 92
[35] Ibid hal 186. Ex tunc : perbuatan yang akibatnya dianggap ada sampai pada pembatalannya.
[36] Muchsan, Sistem Pengawasan .... Op. Cit hal 39
[37] Eko Prasojo, korupsi politik dan politik korupsi, http://ekoprasojo.com/2012/04/03/korupsi-politik-dan-politik-korupsi/
[38] Krishna D. Darumurti, Op. Cit hal 99
[39] Lihat pasal 5 dan 6 Perpres No 54/2010
[40] Muhammad Djapar Saidi, 2011, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal 143
[41] Krishna D. Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Op. Cit hal 95
[42] Amirrudin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa,, Op Cit hal 129
[43] Ibid hal 142-143
[44] Ibid hal 143-144
[45] Ibid hal 145
[46] Muchsan, Sistem Pengawasan... Op Cit hal 19
[47] Amirrudin, Korupsi .... Op Cit hal 145
[48] Ibid, hal 145, Philipus M Hadjon dikutif oleh Amiruddin, arti maladministrasi berasal dari kata dasar Mal dalam bahasa latin malum artinya jahat (jelek). Kata administrasi asal katanya administrare dalam bahasa latin artinya melayani. Kalau dipadu menjadi maladministrasi dengan pengertian dasar tadi, maladministrasi adalah pelayanan yang jelek. Bila melihat pengertian yang diberikan Undang-undang No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI,  maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materil dan/atau immateril bagi masyarakat dan orang perorangan.
[49] Ibid hal 146-147
[50] Ibid
[51] Ibid hal 145