Memecah Kebuntuan Legalitas Formal dengan Pendekatan Multidisipliner terkait
persoalan Konflik
Agraria Di Indonesia Suatu Usaha Memperoleh Keadilan Atas Sumber Daya Agraria
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Diutarakan
berbagai kasus yang saat ini terjadi dan diberikatan di berbagai media massa,
baik terkait kasus Mesuji, Kasus Sape Bima NTB, bahkan menelan korban jiwa
adalah sesuatu yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut
menggambarkan bahwa hukum tidak mampu menciptakan kedamaian dan mencegah konflik
baik struktural maupun fungsional. Inti dari konflik tersebut adalah terkait
masalah hubungan perseorangan, kelompok, warga negara secara umum dengan sumber
daya dan juga disebabkan terjadinya ketimpangan atas pemanfaatan dan penguasaan
sumberdaya alam agraria. Seringkali yang menjadi konflik di bidang agraria ini
antara lain terkait tanah ulayat, tanah desa, hutan adat, hutan desa bahkan apa
yang terkandung dalam sumberdaya agraria tersebut seperti bahan galian logam
mulia, emas, perak dan batu bara. Berakar dari sumberdaya alam agraria itu
tidak jarang yang menjadi korban adalah
masyarakat itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum tidak mengakomodir
apa yang menjadi kehendak rakyat sehingga menyebabkan hukum alat mesin penguasa
dan pengusaha untuk menindas rakyat, terlihat dengan tindakan represif aparat
penegak hukum dan negara atas kaum marjinal. Hukum yang represif akan
meimbulkan konflik horizontal maupun konflik vertikal sehingga sebenarnya pola
hubungan negara masyarakat dengan sumber daya alam (agraria) adalah sesuatu
yang perlu dilakukan pengkajian secara holistik guna mencapai hasil yang
maksimal. Hukum yang seharusnya merupakan sarana untuk membahagiankan rakyat
dipergunakan untuk menyengsarakan rakyat dengan demikian hukum telah kehilangan
fungsinya yang sebenarnya. Hukum sudah
memasuki segala aspek kehidupan masyarakat dengan pengaruh global
moderinisasinya sehingga hukum bukan lagi menjadi sesuatu yang bersifat otonom,
namun sudah memasuki ranah yang lebih luas. Sebagai negara hukum maka Indonesia
mampu untuk mencipatkan hukum yang meliputi segala aspek kehidupan untuk
mewujudkan tujuan dari hukum itu sendiri yakni keadilan dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia (keadilan sosial). Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan
bahwa negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri, melainkan untuk
menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya.[1] Dengan
demikian maka hukum berada dalam negara hukum bukan lagi negara hukum yang
bersumber dan dibangun atas kehendak penguasa yang elitis namun dibangun atas
kebutuhan masyarakat secara nyata di dalam interaksi sosial kemasyarakatan.
Kompleksitas hukum itu membawa hukum itu mengarah pada hukum yang modern dimana
hukum modern itu memiliki ciri seperti diungkapkan oleh Marc Galantar
diantaranya bersifat teritorial, tidak bersifat personal, universitas,
rasional, hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap
masyarakat.[2]
dalam bidang agraria Prof. Esmi Warasih memberikan contoh terkait kasus bagi
hasil terkait pelaksanaan Undang-Undang Bagi Hasil merupakan suatu kegagalan
hukum modern.[3]
Hal tersbut merupakan salah satu contoh bahwa pembangunan dan kebijakan hukum
di bidang agraria belum menyentuh akar permasalahan, atau dengan kata lain
tidak memperhatikan basis sosialnya dimana hukum di bidang keagrarian itu
diterapkan, sehingga sistem hukum yang
modern tersebut akan diperhadapkan dengan sistem hukum yang hidup dalam
masyarakat dan berinplikasi terhadap penerapan dan pelaksanaan hukum dalam
masyarakat. Oleh ahli sosiologi hukum seperti Max Meber mengatakan bahwa sistem hukum modern
yang dibangun atas doktril Rule Of Law itu
tidak terlepas dari kemunculan Industrialisasi kapitalis, sehingga tidak lah
mengherankan kalau hukum modern itu cendrung represif, dan tidak mentolerir
lorong-lorong kebebasan yang santai.[4] Dengan
tetap berlandaskan negara hukum maka penjabaran dan pemecahan konflik agraria
di Indonesia memerlukan pendekatan yang interdisipliner atas hukum sehingga
hasilnyapun diharapkan mutual bagi mereka yang berkonflik atau berhasil guna
bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini
dirumuskan permasalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah
bentuk-bentuk konflik agraria di Indonesia?
b. Bagaiamanakah
penyelesaian konflik agraria berdasarkan hukum yang berorientasi keadilan?
TINJAUAN TEORITIS
A.
Konsep Agraria dan Konflik Agraria
Menurut
A.P. Parlindungan merujuk pada Pasal-Pasal UUPA maka jelaslah kita akan
berbicara mengenai Bumi, Air dan Ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalammnya dan tentang tanah. Jadi kita mengenal pengertian sempit
dan luas. Pengertian sempit, maka yang
dimaksud adalah hukum pertanahan dan hal ini banyak diatur oleh UUPA dimulai
dari Pasal 19 dan seterusnya dari UUPA. Dalam pengertian luas, maka pasal 2
tersebut yang telah kita tinjau bersama telah memberikan kepada kita pengertian
yang lain bukan hanya tanah, tetapi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.[5]
Dengan demikian maka secara umum undang-undang pokok agraria bukan hanya
mengatur masalah pertanahan, tetapi juga mengatur hal yang lebih luas sesuai
dengan pengertian di atas. Oleh karena itu Undang-undang Pokok agraria hanyalah
undang-undang payung bagi undang-undang sektoral yang berkaitan dengan sumber
daya alam. Dengan kata lain bila kita
memakai memakai istilah ilmu biologi, maka agraria itu adalah genusnya dan
sektor-sektor yang lebih khusus itu adalah spesiesnya. Kompleksitas terkait
agraria ini juga tercermin dari konflik-konflik yang bersinggungan dengan
sumber daya alam, baik itu terkait kehutanan, pertanahan, air, pertambangan kaitannya
dengan lingkungan hidup yang sering kali terjadi sehingga pengaturan hukum yang
terkait agraria ini juga mendapat perhatian yang semestinya. Bila dikaitkan
dengan pengertian konflik maka perlu ditelusuri pengertian konflik itu sendiri
sehingga secara umum apa yang menjadi pokok dari konflik agraria itu dapat
dipahami. George Simel mengatakan Konflik adalah unsur terpenting dalam
kehidupan manusia, karena konflik memiliki nilai positif. Karl Marx mengatakan
bahwa konflik menjadi dinamika sejarah manusia, sedangkan Max Weber konflik
menjadi entitas hubungan sosial, sedangkan Maslow, Max Neef, John Button, dan
Marshall Rosenberg menyebutkan bahwa konflik adalah bagian dari proses
pemenuhan kebutuhan dasar manusia.[6] Dalam
kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarmita Konflik berarti
pertentangan atau percekcokan.[7]
Konflik berasal dari kata
kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[8]
Istilah konflik sering digunakan dalam istilah sosiologi maupun politik, namun
dalam ranah ilmu hukum sering digunakan istilah sengketa.[9] Dalam keagrarian juga terjadi konflik, karena
sumber daya alam adalah salah satu kebutuhan manusia dan karenanya sangat
bergantung atas sumber daya tersebut.
Endang Suhendra dan Yana Budi Wianarni mengatakan
bahwa konflik agraria merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan
dalam hubungan agraris dalam sistem apapun.[10] Dengan
pengertian tersebut maka konflik agraria berkaitan dengan proses sosial yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih dimana salah satunya ingin menyingkirkan
pihak yang lain menyangkut hubungan dan kepentingan atas sumberdaya agraria.
Menarik pula untuk diutarakan konflik menurut BPN RI. Berdasarkan Keputusan
Kepala BPN Nomor. 34/2007 Juknis 1/D.V./07 tentang Petunjuk Teknis Penanganan
dan Penyelesaian Konflik, BPN RI membedakan macam-macam permasalahan akan tanah
dengan membaginya dalam pos-pos sengketa, konflik dan perkara. Adapun
pengertian dari masing-masing istilah adalah pertama, sengketa adalah perbendaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau
persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat maupun publik)
mengenai statsu penguasaan dan atau status kepemilikan dan penggunaan atau
pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau stastus
keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan
atau pemanfaatan atas bidang tanah
tertentu. Kedua konflik adalah
perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga negara
atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan
hukum (Privat atau Publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status
penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau
pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status
keputusan tata usahan negara menyangkut pengusaan, pemilikan dan penggunaan
atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek politik,
ekonomi dan sosial budaya. Ketiga, perkara
adalah sengketa dan atau konflik pertanahan yang penyelesaiannya dilakukan
melalui badan peradilan. Dari pengertian yang diberikan oleh BPN tersebut dapat
ditangkap bahwa konflik agraria mengandung aspek politik, ekonomi dan sosial
budaya. Senada dengan itu Moerdiono pernah mengatakan bahwa tanah sudah tidak
lagi sekedar masalah agraria, yang selama ini diidentikan dengan pertanian.
Tanah telah berkembang menjadi pesat menjadi lintas sektoral yang mempunyai
dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi politik bahkan HAMKAM.[11] Berpijak
pada pandangan tersebut maka pendekatan dalam penanganannya tidak cukup dengan
pendekatan yang yuridis semata. Dengan demikian maka dalam penyelesaian maupun
dalam pengambilan kebijakan dibidang agraria harus dilakukan secara terpadu
terkait dengan dimensi-dimensi tersebut. Dalam perundang-undangan agraria
kiranya tidak diperlakukan secara pragmatik sehingga bersifat kasuistis,
sehingga relevan apa yang disampaikan oleh Prof. Sudikno Mertokusomo bahwa dalam
merancang suatu peraturan perundang-undangan perlu untuk mempertimbankan faktor
yang merupakan dasar hubungan kemasyarkatan seperti kepentingan ekonomi, agama,
politik, moral, dan sebagainya dan harus melihat jauh kedepan, futuristik, agar
produknya tidak terlalu kasuistis.[12] Sigler
menegaskan bahwa hukum merupakan suatu integral dari kebijaksanaan.[13]
Prof. Esmi Warassih mengutarakan Unsur-unsur dari kebijaksanaan publik yakni
nilai, tujuan dan sarana.[14]
Lebih lanjut juga diutarakan apabila kebijaksaan publik itu telah memasuki
bidang kehidupan hukum, maka perumusannya pun harus tunduk pada teknik
pembuatan peraturan peundang-undangan.[15]
Secara normatif pembentukan peraturan perundang-undangan itu tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
Dalam kehidupan sosial terdapat keteraturan dan
konflik, dalam suatu masyarakat diupayakan keteraturan yang dinamis dan
berusaha meminimalisir konflik atau ketegangan. David Lockwood menegaskan bahwa
setiap kondisi sosial senantiasa mengandung di dalam dirinya dua hal, yakni :
tata tertib sosial yang bersifat normatif, dan substatum yang melahirkan
konflik-konflik. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat
bersama-sama di dalam setiap sistem sosial.[16] Berdasarkan hal tersebut juga kiranya dalam
kondisi sosial terkait agraria akan senantiasa mengandung dua hal tersebut,
yaitu yang bersifat normatif dalam undang-undang pokok agraria, dan keadaan
empiris yang memperlihatkan konflik-konflik dibidang agraria.
Menurut Boedi Wijadjo et all, bentuk-bentuk konflik
dilihat dari sifat konflik adalah berwujud konflik tertutup (laten), mencuat
(emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tersebunyi (laten) dicirikan dengan
adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak atau tidak sepenuhnya berkembang dan
belum terangkat ke tingkat konflik. Seringkali masing-masing pihak tidak
menyadari adanya konflik bahkan sifatnya sudah menjadi potensial. Konflik
mencuat (emerging) adalah terindentifikasinya perselisihan diantara pihak-pihak
berselisih. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya
jelas, tapi proses negosiasi dan penyelesaiannya belum berkembang. Disisi lain,
dikenal pula istilah konflik terbuka (manifest). Konflik terbuka adalah konflik
yang terjadi antara pihak-pihak yang berselisih secara aktif. Kedua belah pihak
terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk negosiasi
dan mungkin juga sudah mencapai jalan buntu.[17]
Bila melihat substansi konflik terdapat konflik hukum dan konflik kepentingan.
Konflik hukum tentu akan bersingungan dengan perbedaan persepsi antara hak dan
kewajiban atau telah dilanggarnya hak atau pelaksanaan kewajiban. Sedangkan konflik
kepentingan menyangkut perbedaan pendangan mengenai akses atas sesuatu hal, bisa
tanah, kekayaan alam maupun sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960
merupakan undang-undang yang dimaksudkan sebagai peraturan payung yang menjadi
dasar/induk bagi peraturan yang bersifat sektoral yang terkait sumber daya alam
agraria. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Maria S.W. Sumardjono[18] Dalam
tataran normatif kesenjangan antara semangat dan prinsip-prinsip agraria dalam
perarutan pelaksananya. Misalnya :
1. Pemberian
tanah yang sangat luas kepada pengusaha di sektor perkebunan, kehutanan, dan
properti sehingga menimbulkan akumulasi penguasaan tanah.
2. Ketentuan
yang mendorong pemahaman bahwa tanah itu merupakan komoditi (nilai ekonomi
semata) dan mengabaikan nilai lainnya seperti nilai religius dan fungsi sosial
atas tanah.
3. Ketentuan
yang mendorong pengabaian terhadap hak-hak tradisional atas tanah masyarakat
adat; dan
4. Peraturan
yang memberikan peluang terjadinya pengabaian dan kemerosotan kesejahteraan pemegang
hak atas tanah yang terkena pengambilalihan untuk kepentingan pembangunan.
Adapun konflik menurut Endang Suhendra dan Yohana
Budi Winarni menyangkut tiga hal yaitu 1) ketidakadilan akses dan kontrol
berbagai kelompok sosial terhadap tanah dan kekayaan alam, 2) ketidakadilan
pemanfaatan tanah dan kekayaan alam tersebut, terutama perihal berbagai usaha
dan organisasi serta kehidupan di atas tanah, dan 3) pemusatan pengambilan
keputusan berkenaan dengan akses dan kontrol serta pemanfaatan tanah dan kekayaan
alam.[19]
B.
Bentuk Konflik
Agraria di Indonesia
Manusia berasalah dari tanah, hidup dan berkonflik
di atas tanah dan akhirnya mati kembali menjadi tanah. Itu merupakan landasan
filosofi kehidupan yang menggambarkan betapa eratnya hubungan manusia dengan tanah,
saking eratnya manusia rela mati mempertahankan haknya atas tanah. Menurut
Sofia Rachman dimensi ideologis yang dianut oleh manusia terhadap tanah begitu
kuat mengakar dalam masyrakat sehingga ketika terjadi sengketa atau konflik
pertanahan, maka masing-masing pihak akan berusaha sekuat tenaga dan dengan
berbagai cara untuk mempertahankan haknya. Dimensi ideologis yang begitu
melekat pada manusia, sehingga apabila ada gangguan terhadap tanah berarti akan
memunculkan sengketa.[20] Perlu untuk diketengahkan konflik dan sengketa
agraria yang diutarakan oleh Christopher W. Moore dalam Mediation Process sebagaimana
dikutip oleh Maria S.W. Sumardjono, yang
mengatakan bahwa akar permasalahan konflik dan sengketa sumberdaya agraria
lainnya dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a.
Konflik
kepentingan
b.
Konflik
struktural
c.
Konflik nilai
d.
Konflik hubungan
e.
Konflik data[21]
Selain itu kiranya perlu juga memperhatikan bahwa
konflik agraria ini lahir karena kepadatan penduduk yang selalu meningkat dan
jumlah lahan yang potensial terbatas jumlahnya, sehingga berdampat akan
melahirkan konflik tersebut diatas. Secara umum oleh Sofia Rachman mengutarakan
bahwa faktor-faktor penyebab sengketa pertanahan adalah :
a.
Adanya
pluralisme hukum tanah yang dianut oleh peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan, yaitu hukum adat yang mendapingi hukum nasional;
b.
Adanya
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan tanah yang sangat besar antara pihak
yang dapat mengakses dan pihak yang termarjinalkan;
c.
Dimensi yang
melekat pada tanah, seperti dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi
politik dan dimensi ideologis;
d.
Lemahnya sistem
administrasi pertanahan di Indonesia memberikan peluang kepada pihak-pihak lain
untuk memanfaatkan situasi tersebut.[22]
Menurut Maria S.W. Sumardjono, secara garis besar
peta permasalahan tanah dapat dikelompokan menjadi empat, yakni (1) masalah
penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan dan lain-lain. (2)
masalah mengenai landreform; (3) akses-akses dalam penyediaan tanah untuk
keperluan pambangunan; dan (4) sengketa perdata berkenaan dengan permasalahan
tanah.[23]
Dari permasalah yang diutarakan tersebut dalam penyelsaiannya lebih menitik beratkan
kepada pelaksanaan peraturan secara konsekuen dan konsisten. Ketentuan
peraturan perundang-undangan berkenaan dengan penyelesaian status rakyat
sebagai penggarap sudah memadai. Yang diperlukan adalah sikap yang bijak dalam
menghadapi tuntutan rakyat yang beritikat baik disertai kesediaan untuk
melepaskan diri dari pendekatan yang bersifat legalistik semata. Bila
permasalah tidak dapat dilesaikan dengan baik, sengketa berkepanjangan akan
selalu terbuka.[24] Secara sederhana hal
tersebut dapat ditangkap bahwa keadilan bukanlah hal yang dapat ditentukan di
dalam peraturan hukum formal semata, namun lebih pada persaan manusia sebagai
pemangku kepentingan baik secara individu ataupun kolektif. Memang dalam hukum
itu antara nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan adalah tiga hal tidak
mampu diterapkan secara proporsional. Dalam kontek keindonesiaan masa kini,
maka apa yang di gagas oleh Prof. Satjipto Raharjo terkait hukum progrsifnya
yang mana perlu untuk ditumbuh kembangkan di Indonesia. Hukum progresif akan
selalu terkandung di dalamnya hukum yang responsif yang dalam istilahnya Prof.
Satjipto Rahardjo, “Hukum yang Pro-rakyat” dan “Hukum yang Pro-keadilan.[25]
Asumsi dasar dari hukum progresif adalah Hukum untuk Manusia/rakyat bukan
sebaliknya.[26]
PEMBAHASAN
A.
Bentuk
Penyelesaian Konflik Agraria
Jauh sebelum konflik agraria mencuat di berbagai
media masa, sebenatrnya mandaat untuk segera melakukan penataan kebijakan dalam
keagrarian ini sudah ada pada tahun 2001, terlihat dengan jelas dalam ketetapan
MPRRI Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam, dalam pasal 5 ayat (1) mengaskan arah kebijaksanaan pembaruan agraria
meliputi :
a.
Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkiatan
dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka singkronisasi kebijakan
antarsektor yang bersadarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4
ketetapan ini;
b.
Melaksanakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan pemilikan tanah untuk
rakyat;
c.
Menyelenggarakan
pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara konfrehensif dan sistematis
dalam rangka pelaksanaan landreform;
d.
Menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini
sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini;
e.
Memperkuat
kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan
agraria dan menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumberdaya agraria
yang terjadi;
f.
Mengupayakan
dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria
dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.
Sebelum menginjak pada penyelesaian agraria di
Indonesia kita dapat beranjak dari dari ciri khas masyarakat Indonesia yang
pluralistis, sehingga dalam penyelesaian konflik atau sengketa juga memberikan
warna tersendiri sesuai dengan corak dan kehidupan masyarakat Indonesia yang
plural. Dalam kerangka fakta itu maka jelas bahwa perbedaan-perbedaan ciri-ciri
dari berbagai tipe masyarakat kita dalam menyelesaikan sengketa. Menurut Soerjono
Soekanto sebagaimana dikutif oleh Sofia Rachman[27] mengenai
pola-pola penyelesaian sengketa dalam masyrakat, ada tiga ciri khas, yaitu :
a.
Masyarakat
sederhana
1.
Hubungan dalam
keluarga dan masyarakat sangat kuat;
2.
Organisasi
sosial pokoknya didasarkan atas adat istiadat yang terbentuk dalam tradisi;
3.
Hukum yang
berlaku tidak tertulis, tidak komplek dan pokoknya diketahui dan dimengerti
oleh semua anggota masyarakat.
b.
Masyarakat Madya
1.
Hubungan dalam
keluarga tetapkuat, tetapi hubungan dalam masyarakat setempat sudah mengendor
dan menunjukan gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomis;
2.
Adat istiadat
masih dihormati
3.
Hukum tertulis
mulai mendampingi hukum tidak tertulis;
c.
Mayarakat modern
1.
Hubungan antar
manusia didasarkan terutama atas dasar kepentinga pribadi;
2.
Hubungan dengan
masyarakat lain dilakukan secara terbuka dalam suasana saling pengaruh
mempengaruhi kecuali dalam pandangan rahasia pemenuma baru
3.
Hukum yang
berlaku pokoknya hukum tertulis yang kompleks adanya.
Bila merujuk kepada pendapat Daniel S. Lev, yang
dikutif Prof. Esmi Warassih[28]
terkait kurtur hukum, maka terdapat dua nilai yaitu nilai-nilai hukum
prosedural dan nilai-nilai hukum substantif. Ditegaskan pula bahwa cara-cara penyelesaian konflik
mempunyai karakteristiknya sendiri disebabkan oleh adanya dukungan nilai-nilai
tertentu. Menurut Lev kompromi dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang
mendapat dukungan kuat dari masyarakat. Dengan demikian maka penyelesaia
konflik ataupun sengketa pertanahan dalam pelaksanaannya bukanlah merujuk pada
proses adjukasi oleh badan peradilan semata, namun dapat dilakukan dengan
alternatif lain di luar pengadilan. Adapun penyelesaian sengketa tersebut merupakan
upaya untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat pencari keadilan tersebut. Musyawarah
untuk mencapai mufakat merupakan nilai yang begitu baik dalam penyelesaian
masalah agraria dan dikehendaki menguntungkan kedua belah pihak yang
berkonflik. Kendatipun misalnya tidak mencapai kesepakan antara pihak yang
berkonflik baru akan menempuh jalur litigasi di pengadilan. Baik litigasi
maupun nonlitigasi semuanya itu merupakan usaha untuk memperoleh kemanfaatan
dan keadilan bagi masyrakat yang berkepentingan. Sedikit tentang penyelesaian
yang nonlitigasi kita dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam pasal 6 mengatakan bahwa :
a.
Penyelesaian
dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi (pasal 6 ayat
(2)
b.
Penyelesaian
sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan) pihak ketiga yang netral
di luar para pihak, yaitu dalam bentuk mediasai yang diatur dalam pasal 6 ayat
(4) dan (5)
c.
Penyelesaian
Melalui Arbitrase ( Pasal 9 ayat (9))
Bila melihat hukum progresif Prof. Satjipto Rahardjo dalam
kaitannya dengan penyelesaian konflik agraria sangatlah besar kontribusinya
bila dilaksanakan oleh pemangku kepentingan dan pengambil keputusan. Pernah
diutarakan Prof. Satjipto Bahwa hukum progresif tidak berpendapat, ketertiban
(order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan, melainkan
menerima dan mengakui kontribusi institusi-institusi bukan negara.[29] Kelemahan
dalam Undang-Undang pokok agraria yang perlu dicatat adalah, hukum adat tidak
lagi merupakan hukum yang utama (terpenting) yang berlaku dan mengatur
masyarakat dalam menuntut haknya, melainkan hukum adat hanya akan dijadikan
sebagai salah satu hukum yang berlaku dalam masyrakat.[30]
Atau dalam bahasa Prof. Satjipto “by the Grace of the state”[31]
B.
Penyelesaian
Konflik Orientasi Keadilan
Dalam amanat yang tertuang dalam Ketetapan MPR
tentang Nomor IX/MPR/2001 bahwa penyelesaian konflik yang berkeadilan. Jadi
yang menjadi tujuannya keadilan bagi masyarakat. Dalam kaitan ini maka keadilan
yang dimaksud perlu untuk dipertajam dan dipertegas lagi maknanya dalam konteks
ke Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan
pluralistasnya. Dalam hal yang demikian itu maka berbagai interaksi
kemasyarakatan akan memperlihatkan eksistensinya dengan segala keanekaragaman
sesuai kebutuhan. Dalam kehidupan sosial pasti akan terjadi interaksi sosial
dengan berbagai motivasi tertentu.
Motivasi itu bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak
yang mana motivasi itu merupakan faktor penyebab dilakukannya interaksi sosial.
Dalam kontek hukum maka apa yang disampaikan Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan
bahwa salah satu faktor yang pentinga adalah Pembagian sumber-sumber daya dalam
masyarakat. lebih lanjut Beliau mengatakan “ Bahwa faktor sumberdaya ini hanya
salah satu faktor saja yang mendorong orang untuk berhubungan satu sama lain,
namun demikian, dari segi pembicaraan tentang kehidupan sosial, ia merupakan
faktor yang penting sekali.[32]
Tidak berlebihan kiranya penulis katakan bahwa salah satu sumber daya itu
adalah sumber adalah Sumber Daya Agraria. Bila dikaitkan dengan pembagian
sumber-sumber daya tersebut diatas maka akan timbul persoalan “bagaimana
anggota-anggota masyarakat itu memperoleh jalan masuk untuk mendapatkan sumber
daya yang mereka butuhkan”[33]
Dengan demikian maka persoalan juga akan nampak dalam pembagian sumber-sumber
daya agraria yang seringkali menjadi konflik dan sengketa berkepanjangan.
Terkait pembagian atas sumber-sumber daya itu Prof. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pada
dasarnya ada dua pola dalam pembagian yang demikian itu, yaitu yang didasarkan
pada kemampuan masing-masing orang dan kedua, yang didasarkan kepada
masing-masing mekanisme pembagian yang diciptakan oleh masyarakat sendiri.
Dalam hal yang pertama akan menimbulkan ketimpangan karena dapat diasumsikan
bahwa yang memiliki kekuatan modal dan kekuasaan akan memiliki akses yang
lebih, sedangkan yang kedua itu lebih menekankan kepada kesepakan masyarakat
atas suatu hal yang menjadikan patokan dalam pendistribusian sumberdaya
dimaksud, baik itu berupa peraturan perundang-undangan maupun dalam hukum adat
masyakarat tertentu. Dengan demikian maka hukum memberikan akses atas
sumber-sumber daya dimaksud dalam hal ini maka apa yang menjadi patokan standar
atau ukuran atas pembagian itu. Terkait hal itu Prof. Satjipto Mengajukan
persoalan Kepada siapakah sumber-sumber daya itu diberikan/dibagikan?. Seberapa
besarkah bagian yang diberikan kepada masing-masing penerima? Kemuadian apakah
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh bagian itu?. Bila berbicara
terkait pemecahan persoalan tersebut maka kita telah memasuki bidang keadilan.
Prof.Nurhasan
Ismail mengatakan keadilan merupakan konsep yang abstrak yang tidak
begitu mudah untuk dikonkritkan dalam suatu rumusan yang dapat memberikan
gambaran yang menjadi intinya.[34] Prof.
Satjipto Rahardjo[35] mengidentifikasikan
sembilan definisi keadilan yaitu :
a.
Memberikan
kepada setiap orang yang seharusnya diterima
b.
Memberikan
kepada setiap orang yang menurut aturan hukum menjadi haknya
c.
Kebajikan untuk
memberikan hasil yang telah menjadi bagiannya
d.
Kebebasan untuk
menentukan apa yang akan dilakukan, asal tidak melanggar kebebasan yang sama
dari orang lain.
e.
Memberikan
sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan orang;
f.
Persamaan
pribadi
g.
Pemberian
kemerdekaan kepada individu untuk mengejar kemakmuranya
h.
Pemberian
peluang kepada setiap orang mencari kebenaran, dan
i.
Memberikan
sesuatu secara layak.
Dengan sekian banyak definisi keadilan tersebut
menggambarkan bahwa tidaklah mudah untuk mewujudkan apa yang dikatakan adil,
karena masing-masing pihak akan mengatakan adil menurutnya dan tidak adil
menurut yang lain. Walaupun terdapat keragaman definisi namun hakekat dari
keadilan itu adalah Pendistribusian atas sumber-sumber daya di dalam masyrakat
yang disebutkan oleh Prof. Satjipto tersebut diatas. Yang dimaksud sumber daya
antara lain berupa : barang dan jasa, modal usaha, kedudukan dan peran sosial,
kewengan, kekuasaan, kesempatan, dan sesuatu yang lain yang mempunyai
nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia.[36]
Sumber daya Agraria merupakan salah satu sumber daya yang sangat vital dalam
kehidupan manusia, bahkan tanpa adanya sumberdaya tersebut maka kehidupan manusiapun
tidak dapat berlangsung dari generasi ke generasi. Dalam Konteks keindonesian
maka perlu kita ketengahkan apakah yang menjadi landasan Filosophi kehidupan
bernegara, yaitu Pancasila, dalam kaitannya dengan keadilan maka Pancasila memberikan
semangat yang penting dari makna keadilan. Keadilan dimaksud adalah Keadilan
sosial. Dalam pendistribusian sumber daya agraria perlu untuk mempraktekan
keadilan sosial dimaksud. Prof. Maria S.W.
Sumardjono mengatakan Intisari keadilan sebenarnya adalah
pengakuan terhadap manusia sesuai dengan harkatnya sebagai manusia. Masalah
tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat tanah yang
langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia.[37] Pengertian keadilan pada umumnya diberi arti sebagai
keadilan “membagi” atau distributif
justice, yang secara sederhana menyatakan bahwa kepada setiap orang
diberikan haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing.
Lebih lanjut diutarakan juga bahwa perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah
hal yang statis, tetapi suatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak di
antara berbagai faktor, termasuk equality
atau persamaan hal itu sendiri.[38]
Terhadap ide persamaan ini kiranya perlu
mendapat pemahan yang semestinya, karena bila ide persamaan ini diterapkan pada
seseorang yang memiliki kelas sosial atau stratifikasi sosial yang berbeda
corak kehidupan dan kebudayaan Indonesia yang pluralitis maka akan terjadi
ketidakadilan. Dalam kenyataan, setiap
orang berbeda dalam hal kemampuan atau jasanya dan kebutuhan bila dibandingkan
dengan orang lain. Dalam situasi di mana lebih banyak orang yang membutuhkan
sesuatu (terlebih untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia), namun
kemampuan untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama akan menimbulkan
ketidakadilan. Perkecualian terhadap hal ini berupa perlakuan khusus dapat
dilakukan, asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang disebut corrective justice atau positive
discrimination.[39] Terdapat dua aliran yakni
aliran Deontologikalisme, aliran ini tidak menaruh pada hasil pendistribusian,
namun lebih berkomitmen pada cara atau mekanisme untuk mewujudkan keadilan,
sehingga aliran ini menempatkan prosedur lebih penting dibandingkan dengan
hasil, telah melahirkan keadilan formal. Artinya keadilan sudah terwujud jika
prosedur yang ditempuh dalam pendistribusian sumberdaya telah sesuai dengan
yang ditetapkan dalam norma hukumnya.[40]
Antara keadilan formal ini sering dipertentangkan dengan keadilan substansial,
adalah hal yang wajar karena adakalanya sesuatu itu sesuai prosedur tetapi
dirasakan tidak adil, dan ada kalanya sesuatu yang tidak proseduran atau minim
prosedural malah memberikan rasa keadilan. Dalam tataran hukum maka kedua hal
tersebut perlu untuk dipadukan namun seperti yang diungkapkan oleh Prof. Maria
S.W. Sumardjono bahwa “tidak mudah menentukan pilihan antara memutuskan sesuatu
yang secara formal memenuhi syarat (keadilan formal) namun memenuhi keadilan
secara substansial atau mengutamakan terpenuhinya keadilan substansial namun
secara formal tidak memenuhi syarat. Barangkali dapat dijadikan pedoman adalah
suara hati disertai empati kepada nasib orang lain.[41]
Barangkali bila apa yang diutarakan oleh Prof. Satjipto untuk melangkapi hal
tersebut maka dibutuhkan modalitas, seperti Compassion,
Commitment, dan Empathy.[42]
Senada dengan itu Prof. Maria S.W.Sumardjono juga mengemukan akan memadukan
kemampuan nalar dengan hati nurani memerlukan sikap tertentu. keempat sikap itu
disingkat dengan 4C, yakni (1) Comprehension,
yang berari pemahaman tentang peraturan perundang-undangan, baik yang tersurat
maupun yang tersirat; (2) Competence,
yang berarti bahwa yang bersangkutan mempunyai kewenagan untuk bertindak; (3) Courage, yakni keberanian untuk
bertindak konsekuen dengan pemahaman sesuai dengan kewenangannya; dan (4) Compassion, artinya tindakannya itu
dilandasi dengan empati, yakni kepedulian terhadap nasib orang lain.[43]
Dengan demikian maka seorang aktor dalam tugas penegakan hukum tidak hanya
mengandalkan kecerdasan berfikir linier (IQ), tetapi juga dengan Perasaan (EQ),
dan kecerdasan spiritual (SQ) yang bersifat intuitif akan melakukan lompatan
yang tidak ada dalam cara-cara IQ dan EQ.[44] Dengan sikap yang memiliki kriteria tersebut
di atas penulis yakin bahwa buramnya hukum di Indonesia akan memberikan warna
yang baik dalam penegakkan hukum. Taverne Mengungkapkan “berikan pada saya
jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang burukpun saya bisa
memberikan putusan yang baik. Mantan Hakim Agung Bismar Siregar mengatakan
bahwa “keadilan ada di atas hukum”.[45]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terjadinya
Konflik Agraria disebabkan terjadinya ketimpangan atas penguasaan atas sumber
daya agraria, dimana kaum pemegang modal yang memiliki akses secara materil dan
juga secara formal dalam peraturan perundang-undangan yang menyebabkan jurang
yang terjal antara si kaya dengan si miskin/termarjinalkan. sehingga akar
permasalahannya adalah terkait pendistribusian atas sumber daya agraria yang
belum mendekati keadilan.
Dalam
penyeleasaian konflik agraria dapat dilakukan melaui jalun nonlitigasi dan
jalur litigasi. Tujuan dari penyelesaian konflik tidak lain dan tidak bukan
adalah untuk mewujudkan keadilan.
Dalam
penyelesaian Konflik agraria yang berkeadilan harus merujuk kepada falsafah
negara yaitu Pancasila, yang mana keadilan disini merupakan keadilan sosial.
Titik berat dari keadilan sosial adalah keadilan substantif dan bukan keadilan
formal. Sehingga penegak hukum bukan hanya dituntut profesional tetapi juga
mempunyai hati nurani atau kepekaan sosial kemasyarakatan.
Dalam
hal kebijaksaan dibidang agraria, harus mempunyai visi yang jelas dengan
melihat berbagai faktor, baik faktor ekonomi, sosial budaya dan politik.
Sehingga memberikan hasil yang baik bagi rakyat Indonesia.
B.
Saran
Siapapun,
lembaga manapun yang bergerak di bidang Agraria kiranya segera melakukan
pembaharuan dibidang Agraria, mengingat konflik yang begitu marak di Indonesia.
Tidak kalah penting kiranya dalam hukum nasional agraria memberikan tempat yang
layak untuk HUKUM ADAT.
[1] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang
Membahagiankan Rakyatnya, Genta Publising, Yogyakarta, 2009, hlm, 3
[2] Esmi Warassih, Pranata Hukum
Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang , 2011,
hlm, 72
[3] Ibid, hlm, 75-77
[4] Satjipto Raharjo, Sisi-sisi lain
dari Hukum di Indonesia,Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 4
[5] A.P. Parlindungan, Aneka Hukum
Agraria, Alumni Bandung,1986, hlm, 6
[6] Novri Susan dalam Ratih Diasari,
Pemetaan Konflik Pertanahan Masyrakat Hukum Adat terhadap Tanah Ulayat Di Kabupaten
Sorong Selatan, (Penulisan Hukum) Universitas Gadjah Mada, 2010, hlm 105,
[7] Ibid
[8]
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik#Definisi_konflik
[9] Takdir Rahmadi, Mediasi
Penyelesaian sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, RajaGrafindo, Jakarta, 2010,
hlm, 3
[10] Ratih Diasari, Pemetaan
Konflik... Op. Cit. Hlm 108
[11] Sofia Rachman, Alternatif
Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 1, Juni 2010,
hlm 160
[12] Sudikno Mertokusomu, Teori Hukum, Universitas Atmajaya Jogjakarta,
Yogyakarta, 2011, hlm 32
[13] Esmi Warassih, Prananta Hukum
.... Op. Cit, hlm 102
[14] Ibid, hlm, 101
[15] Ibid, hlm, 103
[16] David Lockwood dalam Nasikun, Sistem
Sosial Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,2006, hlm 17
[17] Boedi Wijardjo et all dalam
Ratih Diasari, Pemetaan konflik.... Ibid hlm 109
[18] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan
Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2006, hlm 220
[19] Endang Suhendra dan Yohana Budi
Winarni dalam Ratih Diasari, Pemetaan Konflik... Ibid Hlm 108
[20] Sofia Rachman, Alternatif
Penyelesaian sengketa Pertanahan, Jurnal Cita Hukum, volume 2, Nomor 1, juni
2010, hlm 160
[21] Ibid, hlm 166
[22] Ibid, hlm, 167
[23] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan
Pertanahan.....Op.Cit, hlm 189
[24] Ibid, hlm 190
[25] Satjipto Rahardjo, Hukum
Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta, 2009,
hlm 2
[26] Ibid, hlm, 1
[27] Sofia Rachman, Alternatif
Penyelesaian Sengketa .... Op. Cit, hlm, 173
[28] Esmi Warassih, Pranata Hukum
..... Op. Cit. hlm, 69
[29] Satjipto Rahadjo, Hukum
Progresif.... Op.Cit, hlm, 13
[30]
H. Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 49
[32] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 1986, hlm, 46
[33] Ibid, hlm, 46
[34] Nurhasan Ismail, Perkembanan Hukum
Pertanahan Pendekatan Ekonomi –Politik (Perubahan Pilihan Kepentingan, Nilai
Sosial, dan Kelompok Diuntungkan), diterbitkan Kerjasama Huma & Magister
Hukum UGM, Jakarta, 2007, hlm, 25
[35] Satjipto Rahardjo, Ilmu.... Op.
Cit, hlm 49-51, lihat juga Nurhasan Islamail, Perkembangan Hukum... Ibid hlm,
25
[36] Nurhasan Ismail, Perkembangan
Hukum.... Op. Cit , hlm, 26
[37] Maria S.W Sumanrdjono, Kebijakan
Pertanahan . . . Op. Cit, hlm, 19
[38] Ibid, hlm, 179
[39] Ibid, hlm 180
[40] Nurhasan Ismail, Perkembangan
Hukum Pertanahan .... Op. Cit, hlm 29
[41] Marian S.W. Sumardjono,
Kebijakan Pertanahan... Op. Cit, hlm 30
[42] Satjipto Rahardjo, Hukum
Progresif ... Op. Cit, hlm 25
[43] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan
Pertanahan... Op. Cit, hlm 188
[44] Satjipto Rahardjo, Hukum
Progresif .... Op Cit, hlm 23
[45] Ibid, hlm, 10