»

About Me

Sabtu, 05 Januari 2013


Memecah Kebuntuan Legalitas Formal dengan Pendekatan Multidisipliner terkait persoalan Konflik Agraria Di Indonesia Suatu Usaha Memperoleh Keadilan Atas Sumber Daya  Agraria

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Diutarakan berbagai kasus yang saat ini terjadi dan diberikatan di berbagai media massa, baik terkait kasus Mesuji, Kasus Sape Bima NTB, bahkan menelan korban jiwa adalah sesuatu yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut menggambarkan bahwa hukum tidak mampu menciptakan kedamaian dan mencegah konflik baik struktural maupun fungsional. Inti dari konflik tersebut adalah terkait masalah hubungan perseorangan, kelompok, warga negara secara umum dengan sumber daya dan juga disebabkan terjadinya ketimpangan atas pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya alam agraria. Seringkali yang menjadi konflik di bidang agraria ini antara lain terkait tanah ulayat, tanah desa, hutan adat, hutan desa bahkan apa yang terkandung dalam sumberdaya agraria tersebut seperti bahan galian logam mulia, emas, perak dan batu bara. Berakar dari sumberdaya alam agraria itu tidak jarang  yang menjadi korban adalah masyarakat itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum tidak mengakomodir apa yang menjadi kehendak rakyat sehingga menyebabkan hukum alat mesin penguasa dan pengusaha untuk menindas rakyat, terlihat dengan tindakan represif aparat penegak hukum dan negara atas kaum marjinal. Hukum yang represif akan meimbulkan konflik horizontal maupun konflik vertikal sehingga sebenarnya pola hubungan negara masyarakat dengan sumber daya alam (agraria) adalah sesuatu yang perlu dilakukan pengkajian secara holistik guna mencapai hasil yang maksimal. Hukum yang seharusnya merupakan sarana untuk membahagiankan rakyat dipergunakan untuk menyengsarakan rakyat dengan demikian hukum telah kehilangan fungsinya yang sebenarnya. Hukum  sudah memasuki segala aspek kehidupan masyarakat dengan pengaruh global moderinisasinya sehingga hukum bukan lagi menjadi sesuatu yang bersifat otonom, namun sudah memasuki ranah yang lebih luas. Sebagai negara hukum maka Indonesia mampu untuk mencipatkan hukum yang meliputi segala aspek kehidupan untuk mewujudkan tujuan dari hukum itu sendiri yakni keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (keadilan sosial). Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri, melainkan untuk menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya.[1] Dengan demikian maka hukum berada dalam negara hukum bukan lagi negara hukum yang bersumber dan dibangun atas kehendak penguasa yang elitis namun dibangun atas kebutuhan masyarakat secara nyata di dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Kompleksitas hukum itu membawa hukum itu mengarah pada hukum yang modern dimana hukum modern itu memiliki ciri seperti diungkapkan oleh Marc Galantar diantaranya bersifat teritorial, tidak bersifat personal, universitas, rasional, hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat.[2] dalam bidang agraria Prof. Esmi Warasih memberikan contoh terkait kasus bagi hasil terkait pelaksanaan Undang-Undang Bagi Hasil merupakan suatu kegagalan hukum modern.[3] Hal tersbut merupakan salah satu contoh bahwa pembangunan dan kebijakan hukum di bidang agraria belum menyentuh akar permasalahan, atau dengan kata lain tidak memperhatikan basis sosialnya dimana hukum di bidang keagrarian itu diterapkan, sehingga sistem  hukum yang modern tersebut akan diperhadapkan dengan sistem hukum yang hidup dalam masyarakat dan berinplikasi terhadap penerapan dan pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Oleh ahli sosiologi hukum seperti  Max Meber mengatakan bahwa sistem hukum modern yang dibangun atas doktril Rule Of Law itu tidak terlepas dari kemunculan Industrialisasi kapitalis, sehingga tidak lah mengherankan kalau hukum modern itu cendrung represif, dan tidak mentolerir lorong-lorong kebebasan yang santai.[4] Dengan tetap berlandaskan negara hukum maka penjabaran dan pemecahan konflik agraria di Indonesia memerlukan pendekatan yang interdisipliner atas hukum sehingga hasilnyapun diharapkan mutual bagi mereka yang berkonflik atau berhasil guna bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini dirumuskan permasalah sebagai berikut :
a.    Bagaimanakah bentuk-bentuk konflik agraria di Indonesia?
b.    Bagaiamanakah penyelesaian konflik agraria berdasarkan hukum yang berorientasi keadilan?


TINJAUAN TEORITIS
A.      Konsep Agraria dan  Konflik Agraria
Menurut A.P. Parlindungan merujuk pada Pasal-Pasal UUPA maka jelaslah kita akan berbicara mengenai Bumi, Air dan Ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalammnya dan tentang tanah. Jadi kita mengenal pengertian sempit dan luas. Pengertian sempit,  maka yang dimaksud adalah hukum pertanahan dan hal ini banyak diatur oleh UUPA dimulai dari Pasal 19 dan seterusnya dari UUPA. Dalam pengertian luas, maka pasal 2 tersebut yang telah kita tinjau bersama telah memberikan kepada kita pengertian yang lain bukan hanya tanah, tetapi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.[5] Dengan demikian maka secara umum undang-undang pokok agraria bukan hanya mengatur masalah pertanahan, tetapi juga mengatur hal yang lebih luas sesuai dengan pengertian di atas. Oleh karena itu Undang-undang Pokok agraria hanyalah undang-undang payung bagi undang-undang sektoral yang berkaitan dengan sumber daya alam.  Dengan kata lain bila kita memakai memakai istilah ilmu biologi, maka agraria itu adalah genusnya dan sektor-sektor yang lebih khusus itu adalah spesiesnya. Kompleksitas terkait agraria ini juga tercermin dari konflik-konflik yang bersinggungan dengan sumber daya alam, baik itu terkait kehutanan, pertanahan, air, pertambangan kaitannya dengan lingkungan hidup yang sering kali terjadi sehingga pengaturan hukum yang terkait agraria ini juga mendapat perhatian yang semestinya. Bila dikaitkan dengan pengertian konflik maka perlu ditelusuri pengertian konflik itu sendiri sehingga secara umum apa yang menjadi pokok dari konflik agraria itu dapat dipahami. George Simel mengatakan Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia, karena konflik memiliki nilai positif. Karl Marx mengatakan bahwa konflik menjadi dinamika sejarah manusia, sedangkan Max Weber konflik menjadi entitas hubungan sosial, sedangkan Maslow, Max Neef, John Button, dan Marshall Rosenberg menyebutkan bahwa konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia.[6] Dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarmita Konflik berarti pertentangan atau percekcokan.[7]
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[8] Istilah konflik sering digunakan dalam istilah sosiologi maupun politik, namun dalam ranah ilmu hukum sering digunakan istilah sengketa.[9]  Dalam keagrarian juga terjadi konflik, karena sumber daya alam adalah salah satu kebutuhan manusia dan karenanya sangat bergantung atas sumber daya tersebut.
Endang Suhendra dan Yana Budi Wianarni mengatakan bahwa konflik agraria merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan dalam hubungan agraris dalam sistem apapun.[10] Dengan pengertian tersebut maka konflik agraria berkaitan dengan proses sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dimana salah satunya ingin menyingkirkan pihak yang lain menyangkut hubungan dan kepentingan atas sumberdaya agraria. Menarik pula untuk diutarakan konflik menurut BPN RI. Berdasarkan Keputusan Kepala BPN Nomor. 34/2007 Juknis 1/D.V./07 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Konflik, BPN RI membedakan macam-macam permasalahan akan tanah dengan membaginya dalam pos-pos sengketa, konflik dan perkara. Adapun pengertian dari masing-masing istilah adalah pertama, sengketa adalah perbendaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat maupun publik) mengenai statsu penguasaan dan atau status kepemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau stastus keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah  tertentu. Kedua konflik adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga negara atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (Privat atau Publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usahan negara menyangkut pengusaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Ketiga, perkara adalah sengketa dan atau konflik pertanahan yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan peradilan. Dari pengertian yang diberikan oleh BPN tersebut dapat ditangkap bahwa konflik agraria mengandung aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Senada dengan itu Moerdiono pernah mengatakan bahwa tanah sudah tidak lagi sekedar masalah agraria, yang selama ini diidentikan dengan pertanian. Tanah telah berkembang menjadi pesat menjadi lintas sektoral yang mempunyai dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi politik bahkan HAMKAM.[11] Berpijak pada pandangan tersebut maka pendekatan dalam penanganannya tidak cukup dengan pendekatan yang yuridis semata. Dengan demikian maka dalam penyelesaian maupun dalam pengambilan kebijakan dibidang agraria harus dilakukan secara terpadu terkait dengan dimensi-dimensi tersebut. Dalam perundang-undangan agraria kiranya tidak diperlakukan secara pragmatik sehingga bersifat kasuistis, sehingga relevan apa yang disampaikan oleh Prof. Sudikno Mertokusomo bahwa dalam merancang suatu peraturan perundang-undangan perlu untuk mempertimbankan faktor yang merupakan dasar hubungan kemasyarkatan seperti kepentingan ekonomi, agama, politik, moral, dan sebagainya dan harus melihat jauh kedepan, futuristik, agar produknya tidak terlalu kasuistis.[12] Sigler menegaskan bahwa hukum merupakan suatu integral dari kebijaksanaan.[13] Prof. Esmi Warassih mengutarakan Unsur-unsur dari kebijaksanaan publik yakni nilai, tujuan dan sarana.[14] Lebih lanjut juga diutarakan apabila kebijaksaan publik itu telah memasuki bidang kehidupan hukum, maka perumusannya pun harus tunduk pada teknik pembuatan peraturan peundang-undangan.[15] Secara normatif pembentukan peraturan perundang-undangan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
Dalam kehidupan sosial terdapat keteraturan dan konflik, dalam suatu masyarakat diupayakan keteraturan yang dinamis dan berusaha meminimalisir konflik atau ketegangan. David Lockwood menegaskan bahwa setiap kondisi sosial senantiasa mengandung di dalam dirinya dua hal, yakni : tata tertib sosial yang bersifat normatif, dan substatum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial.[16]  Berdasarkan hal tersebut juga kiranya dalam kondisi sosial terkait agraria akan senantiasa mengandung dua hal tersebut, yaitu yang bersifat normatif dalam undang-undang pokok agraria, dan keadaan empiris yang memperlihatkan konflik-konflik dibidang agraria.
Menurut Boedi Wijadjo et all, bentuk-bentuk konflik dilihat dari sifat konflik adalah berwujud konflik tertutup (laten), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tersebunyi (laten) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak atau tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke tingkat konflik. Seringkali masing-masing pihak tidak menyadari adanya konflik bahkan sifatnya sudah menjadi potensial. Konflik mencuat (emerging) adalah terindentifikasinya perselisihan diantara pihak-pihak berselisih. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dan penyelesaiannya belum berkembang. Disisi lain, dikenal pula istilah konflik terbuka (manifest). Konflik terbuka adalah konflik yang terjadi antara pihak-pihak yang berselisih secara aktif. Kedua belah pihak terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk negosiasi dan mungkin juga sudah mencapai jalan buntu.[17] Bila melihat substansi konflik terdapat konflik hukum dan konflik kepentingan. Konflik hukum tentu akan bersingungan dengan perbedaan persepsi antara hak dan kewajiban atau telah dilanggarnya hak atau pelaksanaan kewajiban. Sedangkan konflik kepentingan menyangkut perbedaan pendangan mengenai akses atas sesuatu hal, bisa tanah, kekayaan alam maupun sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 merupakan undang-undang yang dimaksudkan sebagai peraturan payung yang menjadi dasar/induk bagi peraturan yang bersifat sektoral yang terkait sumber daya alam agraria. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Maria S.W. Sumardjono[18] Dalam tataran normatif kesenjangan antara semangat dan prinsip-prinsip agraria dalam perarutan pelaksananya. Misalnya :
1.      Pemberian tanah yang sangat luas kepada pengusaha di sektor perkebunan, kehutanan, dan properti sehingga menimbulkan akumulasi penguasaan tanah.
2.      Ketentuan yang mendorong pemahaman bahwa tanah itu merupakan komoditi (nilai ekonomi semata) dan mengabaikan nilai lainnya seperti nilai religius dan fungsi sosial atas tanah.
3.      Ketentuan yang mendorong pengabaian terhadap hak-hak tradisional atas tanah masyarakat adat; dan
4.      Peraturan yang memberikan peluang terjadinya pengabaian dan kemerosotan kesejahteraan pemegang hak atas tanah yang terkena pengambilalihan untuk kepentingan pembangunan.
Adapun konflik menurut Endang Suhendra dan Yohana Budi Winarni menyangkut tiga hal yaitu 1) ketidakadilan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial terhadap tanah dan kekayaan alam, 2) ketidakadilan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam tersebut, terutama perihal berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah, dan 3) pemusatan pengambilan keputusan berkenaan dengan akses dan kontrol serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam.[19]
B.       Bentuk Konflik Agraria di Indonesia
Manusia berasalah dari tanah, hidup dan berkonflik di atas tanah dan akhirnya mati kembali menjadi tanah. Itu merupakan landasan filosofi kehidupan yang menggambarkan betapa eratnya hubungan manusia dengan tanah, saking eratnya manusia rela mati mempertahankan haknya atas tanah. Menurut Sofia Rachman dimensi ideologis yang dianut oleh manusia terhadap tanah begitu kuat mengakar dalam masyrakat sehingga ketika terjadi sengketa atau konflik pertanahan, maka masing-masing pihak akan berusaha sekuat tenaga dan dengan berbagai cara untuk mempertahankan haknya. Dimensi ideologis yang begitu melekat pada manusia, sehingga apabila ada gangguan terhadap tanah berarti akan memunculkan sengketa.[20]  Perlu untuk diketengahkan konflik dan sengketa agraria yang diutarakan oleh Christopher W. Moore dalam Mediation Process sebagaimana dikutip oleh Maria  S.W. Sumardjono, yang mengatakan bahwa akar permasalahan konflik dan sengketa sumberdaya agraria lainnya dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a.       Konflik kepentingan
b.      Konflik struktural
c.       Konflik nilai
d.      Konflik hubungan
e.       Konflik data[21]
Selain itu kiranya perlu juga memperhatikan bahwa konflik agraria ini lahir karena kepadatan penduduk yang selalu meningkat dan jumlah lahan yang potensial terbatas jumlahnya, sehingga berdampat akan melahirkan konflik tersebut diatas. Secara umum oleh Sofia Rachman mengutarakan bahwa faktor-faktor penyebab sengketa pertanahan adalah :
a.       Adanya pluralisme hukum tanah yang dianut oleh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, yaitu hukum adat yang mendapingi hukum nasional;
b.      Adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan tanah yang sangat besar antara pihak yang dapat mengakses dan pihak yang termarjinalkan;
c.       Dimensi yang melekat pada tanah, seperti dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi politik dan dimensi ideologis;
d.      Lemahnya sistem administrasi pertanahan di Indonesia memberikan peluang kepada pihak-pihak lain untuk memanfaatkan situasi tersebut.[22]
Menurut Maria S.W. Sumardjono, secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokan menjadi empat, yakni (1) masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan dan lain-lain. (2) masalah mengenai landreform; (3) akses-akses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pambangunan; dan (4) sengketa perdata berkenaan dengan permasalahan tanah.[23] Dari permasalah yang diutarakan tersebut dalam penyelsaiannya lebih menitik beratkan kepada pelaksanaan peraturan secara konsekuen dan konsisten. Ketentuan peraturan perundang-undangan berkenaan dengan penyelesaian status rakyat sebagai penggarap sudah memadai. Yang diperlukan adalah sikap yang bijak dalam menghadapi tuntutan rakyat yang beritikat baik disertai kesediaan untuk melepaskan diri dari pendekatan yang bersifat legalistik semata. Bila permasalah tidak dapat dilesaikan dengan baik, sengketa berkepanjangan akan selalu terbuka.[24] Secara sederhana hal tersebut dapat ditangkap bahwa keadilan bukanlah hal yang dapat ditentukan di dalam peraturan hukum formal semata, namun lebih pada persaan manusia sebagai pemangku kepentingan baik secara individu ataupun kolektif. Memang dalam hukum itu antara nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan adalah tiga hal tidak mampu diterapkan secara proporsional. Dalam kontek keindonesiaan masa kini, maka apa yang di gagas oleh Prof. Satjipto Raharjo terkait hukum progrsifnya yang mana perlu untuk ditumbuh kembangkan di Indonesia. Hukum progresif akan selalu terkandung di dalamnya hukum yang responsif yang dalam istilahnya Prof. Satjipto Rahardjo, “Hukum yang Pro-rakyat” dan “Hukum yang Pro-keadilan.[25] Asumsi dasar dari hukum progresif adalah Hukum untuk Manusia/rakyat bukan sebaliknya.[26] 

 PEMBAHASAN

A.      Bentuk Penyelesaian Konflik Agraria
Jauh sebelum konflik agraria mencuat di berbagai media masa, sebenatrnya mandaat untuk segera melakukan penataan kebijakan dalam keagrarian ini sudah ada pada tahun 2001, terlihat dengan jelas dalam ketetapan MPRRI Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam pasal 5 ayat (1) mengaskan arah kebijaksanaan pembaruan agraria meliputi :
a.       Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkiatan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka singkronisasi kebijakan antarsektor yang bersadarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini;
b.      Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan pemilikan tanah untuk rakyat;
c.       Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara konfrehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform;
d.      Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini;
e.       Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi;
f.       Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.
Sebelum menginjak pada penyelesaian agraria di Indonesia kita dapat beranjak dari dari ciri khas masyarakat Indonesia yang pluralistis, sehingga dalam penyelesaian konflik atau sengketa juga memberikan warna tersendiri sesuai dengan corak dan kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Dalam kerangka fakta itu maka jelas bahwa perbedaan-perbedaan ciri-ciri dari berbagai tipe masyarakat kita dalam menyelesaikan sengketa. Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutif oleh Sofia Rachman[27] mengenai pola-pola penyelesaian sengketa dalam masyrakat, ada tiga ciri khas, yaitu :
a.       Masyarakat sederhana
1.      Hubungan dalam keluarga dan masyarakat sangat kuat;
2.      Organisasi sosial pokoknya didasarkan atas adat istiadat yang terbentuk dalam tradisi;
3.      Hukum yang berlaku tidak tertulis, tidak komplek dan pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota masyarakat.
b.      Masyarakat Madya
1.      Hubungan dalam keluarga tetapkuat, tetapi hubungan dalam masyarakat setempat sudah mengendor dan menunjukan gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomis;
2.      Adat istiadat masih dihormati
3.      Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis;
c.       Mayarakat modern
1.      Hubungan antar manusia didasarkan terutama atas dasar kepentinga pribadi;
2.      Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dalam suasana saling pengaruh mempengaruhi kecuali dalam pandangan rahasia pemenuma baru
3.      Hukum yang berlaku pokoknya hukum tertulis yang kompleks adanya.
Bila merujuk kepada pendapat Daniel S. Lev, yang dikutif Prof. Esmi Warassih[28] terkait kurtur hukum, maka terdapat dua nilai yaitu nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantif. Ditegaskan pula  bahwa cara-cara penyelesaian konflik mempunyai karakteristiknya sendiri disebabkan oleh adanya dukungan nilai-nilai tertentu. Menurut Lev kompromi dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat. Dengan demikian maka penyelesaia konflik ataupun sengketa pertanahan dalam pelaksanaannya bukanlah merujuk pada proses adjukasi oleh badan peradilan semata, namun dapat dilakukan dengan alternatif lain di luar pengadilan. Adapun penyelesaian sengketa tersebut merupakan upaya untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat pencari keadilan tersebut. Musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan nilai yang begitu baik dalam penyelesaian masalah agraria dan dikehendaki menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik. Kendatipun misalnya tidak mencapai kesepakan antara pihak yang berkonflik baru akan menempuh jalur litigasi di pengadilan. Baik litigasi maupun nonlitigasi semuanya itu merupakan usaha untuk memperoleh kemanfaatan dan keadilan bagi masyrakat yang berkepentingan. Sedikit tentang penyelesaian yang nonlitigasi kita dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam pasal 6 mengatakan bahwa :
a.       Penyelesaian dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi (pasal 6 ayat (2)
b.      Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan) pihak ketiga yang netral di luar para pihak, yaitu dalam bentuk mediasai yang diatur dalam pasal 6 ayat (4) dan (5)
c.       Penyelesaian Melalui Arbitrase ( Pasal 9 ayat (9))
Bila melihat hukum  progresif Prof. Satjipto Rahardjo dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik agraria sangatlah besar kontribusinya bila dilaksanakan oleh pemangku kepentingan dan pengambil keputusan. Pernah diutarakan Prof. Satjipto Bahwa hukum progresif tidak berpendapat, ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan, melainkan menerima dan mengakui kontribusi institusi-institusi bukan negara.[29] Kelemahan dalam Undang-Undang pokok agraria yang perlu dicatat adalah, hukum adat tidak lagi merupakan hukum yang utama (terpenting) yang berlaku dan mengatur masyarakat dalam menuntut haknya, melainkan hukum adat hanya akan dijadikan sebagai salah satu hukum yang berlaku dalam masyrakat.[30] Atau dalam bahasa Prof. Satjipto “by the Grace of the state[31]
B.       Penyelesaian Konflik Orientasi Keadilan
Dalam amanat yang tertuang dalam Ketetapan MPR tentang Nomor IX/MPR/2001 bahwa penyelesaian konflik yang berkeadilan. Jadi yang menjadi tujuannya keadilan bagi masyarakat. Dalam kaitan ini maka keadilan yang dimaksud perlu untuk dipertajam dan dipertegas lagi maknanya dalam konteks ke Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan pluralistasnya. Dalam hal yang demikian itu maka berbagai interaksi kemasyarakatan akan memperlihatkan eksistensinya dengan segala keanekaragaman sesuai kebutuhan. Dalam kehidupan sosial pasti akan terjadi interaksi sosial dengan berbagai motivasi tertentu.  Motivasi itu bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak yang mana motivasi itu merupakan faktor penyebab dilakukannya interaksi sosial. Dalam kontek hukum maka apa yang disampaikan Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa salah satu faktor yang pentinga adalah Pembagian sumber-sumber daya dalam masyarakat. lebih lanjut Beliau mengatakan “ Bahwa faktor sumberdaya ini hanya salah satu faktor saja yang mendorong orang untuk berhubungan satu sama lain, namun demikian, dari segi pembicaraan tentang kehidupan sosial, ia merupakan faktor yang penting sekali.[32] Tidak berlebihan kiranya penulis katakan bahwa salah satu sumber daya itu adalah sumber adalah Sumber Daya Agraria. Bila dikaitkan dengan pembagian sumber-sumber daya tersebut diatas maka akan timbul persoalan “bagaimana anggota-anggota masyarakat itu memperoleh jalan masuk untuk mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan”[33] Dengan demikian maka persoalan juga akan nampak dalam pembagian sumber-sumber daya agraria yang seringkali menjadi konflik dan sengketa berkepanjangan. Terkait pembagian atas sumber-sumber daya itu  Prof. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua pola dalam pembagian yang demikian itu, yaitu yang didasarkan pada kemampuan masing-masing orang dan kedua, yang didasarkan kepada masing-masing mekanisme pembagian yang diciptakan oleh masyarakat sendiri. Dalam hal yang pertama akan menimbulkan ketimpangan karena dapat diasumsikan bahwa yang memiliki kekuatan modal dan kekuasaan akan memiliki akses yang lebih, sedangkan yang kedua itu lebih menekankan kepada kesepakan masyarakat atas suatu hal yang menjadikan patokan dalam pendistribusian sumberdaya dimaksud, baik itu berupa peraturan perundang-undangan maupun dalam hukum adat masyakarat tertentu. Dengan demikian maka hukum memberikan akses atas sumber-sumber daya dimaksud dalam hal ini maka apa yang menjadi patokan standar atau ukuran atas pembagian itu. Terkait hal itu Prof. Satjipto Mengajukan persoalan Kepada siapakah sumber-sumber daya itu diberikan/dibagikan?. Seberapa besarkah bagian yang diberikan kepada masing-masing penerima? Kemuadian apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh bagian itu?. Bila berbicara terkait pemecahan persoalan tersebut maka kita telah memasuki bidang keadilan.
Prof.Nurhasan  Ismail mengatakan keadilan merupakan konsep yang abstrak yang tidak begitu mudah untuk dikonkritkan dalam suatu rumusan yang dapat memberikan gambaran yang menjadi intinya.[34] Prof. Satjipto Rahardjo[35] mengidentifikasikan sembilan definisi keadilan yaitu :
a.       Memberikan kepada setiap orang yang seharusnya diterima
b.      Memberikan kepada setiap orang yang menurut aturan hukum menjadi haknya
c.       Kebajikan untuk memberikan hasil yang telah menjadi bagiannya
d.      Kebebasan untuk menentukan apa yang akan dilakukan, asal tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain.
e.       Memberikan sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan orang;
f.       Persamaan pribadi
g.      Pemberian kemerdekaan kepada individu untuk mengejar kemakmuranya
h.      Pemberian peluang kepada setiap orang mencari kebenaran, dan
i.        Memberikan sesuatu secara  layak.
Dengan sekian banyak definisi keadilan tersebut menggambarkan bahwa tidaklah mudah untuk mewujudkan apa yang dikatakan adil, karena masing-masing pihak akan mengatakan adil menurutnya dan tidak adil menurut yang lain. Walaupun terdapat keragaman definisi namun hakekat dari keadilan itu adalah Pendistribusian atas sumber-sumber daya di dalam masyrakat yang disebutkan oleh Prof. Satjipto tersebut diatas. Yang dimaksud sumber daya antara lain berupa : barang dan jasa, modal usaha, kedudukan dan peran sosial, kewengan, kekuasaan, kesempatan, dan sesuatu yang lain yang mempunyai nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia.[36] Sumber daya Agraria merupakan salah satu sumber daya yang sangat vital dalam kehidupan manusia, bahkan tanpa adanya sumberdaya tersebut maka kehidupan manusiapun tidak dapat berlangsung dari generasi ke generasi. Dalam Konteks keindonesian maka perlu kita ketengahkan apakah yang menjadi landasan Filosophi kehidupan bernegara, yaitu Pancasila, dalam kaitannya dengan keadilan maka Pancasila memberikan semangat yang penting dari makna keadilan. Keadilan dimaksud adalah Keadilan sosial. Dalam pendistribusian sumber daya agraria perlu untuk mempraktekan keadilan sosial dimaksud. Prof. Maria S.W.  Sumardjono mengatakan Intisari keadilan sebenarnya adalah pengakuan terhadap manusia sesuai dengan harkatnya sebagai manusia. Masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia.[37] Pengertian keadilan pada umumnya diberi arti sebagai keadilan “membagi” atau distributif justice, yang secara sederhana menyatakan bahwa kepada setiap orang diberikan haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Lebih lanjut diutarakan juga bahwa perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah hal yang statis, tetapi suatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak di antara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hal itu sendiri.[38] Terhadap ide persamaan ini kiranya  perlu mendapat pemahan yang semestinya, karena bila ide persamaan ini diterapkan pada seseorang yang memiliki kelas sosial atau stratifikasi sosial yang berbeda corak kehidupan dan kebudayaan Indonesia yang pluralitis maka akan terjadi ketidakadilan. Dalam  kenyataan, setiap orang berbeda dalam hal kemampuan atau jasanya dan kebutuhan bila dibandingkan dengan orang lain. Dalam situasi di mana lebih banyak orang yang membutuhkan sesuatu (terlebih untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia), namun kemampuan untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama akan menimbulkan ketidakadilan. Perkecualian terhadap hal ini berupa perlakuan khusus dapat dilakukan, asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang disebut corrective justice atau positive discrimination.[39] Terdapat dua aliran yakni aliran Deontologikalisme, aliran ini tidak menaruh pada hasil pendistribusian, namun lebih berkomitmen pada cara atau mekanisme untuk mewujudkan keadilan, sehingga aliran ini menempatkan prosedur lebih penting dibandingkan dengan hasil, telah melahirkan keadilan formal. Artinya keadilan sudah terwujud jika prosedur yang ditempuh dalam pendistribusian sumberdaya telah sesuai dengan yang ditetapkan dalam norma hukumnya.[40] Antara keadilan formal ini sering dipertentangkan dengan keadilan substansial, adalah hal yang wajar karena adakalanya sesuatu itu sesuai prosedur tetapi dirasakan tidak adil, dan ada kalanya sesuatu yang tidak proseduran atau minim prosedural malah memberikan rasa keadilan. Dalam tataran hukum maka kedua hal tersebut perlu untuk dipadukan namun seperti yang diungkapkan oleh Prof. Maria S.W. Sumardjono bahwa “tidak mudah menentukan pilihan antara memutuskan sesuatu yang secara formal memenuhi syarat (keadilan formal) namun memenuhi keadilan secara substansial atau mengutamakan terpenuhinya keadilan substansial namun secara formal tidak memenuhi syarat. Barangkali dapat dijadikan pedoman adalah suara hati disertai empati kepada nasib orang lain.[41] Barangkali bila apa yang diutarakan oleh Prof. Satjipto untuk melangkapi hal tersebut maka dibutuhkan modalitas, seperti Compassion, Commitment, dan Empathy.[42] Senada dengan itu Prof. Maria S.W.Sumardjono juga mengemukan akan memadukan kemampuan nalar dengan hati nurani memerlukan sikap tertentu. keempat sikap itu disingkat dengan 4C, yakni (1) Comprehension, yang berari pemahaman tentang peraturan perundang-undangan, baik yang tersurat maupun yang tersirat; (2) Competence, yang berarti bahwa yang bersangkutan mempunyai kewenagan untuk bertindak; (3) Courage, yakni keberanian untuk bertindak konsekuen dengan pemahaman sesuai dengan kewenangannya; dan (4) Compassion, artinya tindakannya itu dilandasi dengan empati, yakni kepedulian terhadap nasib orang lain.[43] Dengan demikian maka seorang aktor dalam tugas penegakan hukum tidak hanya mengandalkan kecerdasan berfikir linier (IQ), tetapi juga dengan Perasaan (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) yang bersifat intuitif akan melakukan lompatan yang tidak ada dalam cara-cara IQ dan EQ.[44]  Dengan sikap yang memiliki kriteria tersebut di atas penulis yakin bahwa buramnya hukum di Indonesia akan memberikan warna yang baik dalam penegakkan hukum. Taverne Mengungkapkan “berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang burukpun saya bisa memberikan putusan yang baik. Mantan Hakim Agung Bismar Siregar mengatakan bahwa “keadilan ada di atas hukum”.[45]

PENUTUP
A.      Kesimpulan
Terjadinya Konflik Agraria disebabkan terjadinya ketimpangan atas penguasaan atas sumber daya agraria, dimana kaum pemegang modal yang memiliki akses secara materil dan juga secara formal dalam peraturan perundang-undangan yang menyebabkan jurang yang terjal antara si kaya dengan si miskin/termarjinalkan. sehingga akar permasalahannya adalah terkait pendistribusian atas sumber daya agraria yang belum mendekati keadilan.
Dalam penyeleasaian konflik agraria dapat dilakukan melaui jalun nonlitigasi dan jalur litigasi. Tujuan dari penyelesaian konflik tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mewujudkan keadilan.
Dalam penyelesaian Konflik agraria yang berkeadilan harus merujuk kepada falsafah negara yaitu Pancasila, yang mana keadilan disini merupakan keadilan sosial. Titik berat dari keadilan sosial adalah keadilan substantif dan bukan keadilan formal. Sehingga penegak hukum bukan hanya dituntut profesional tetapi juga mempunyai hati nurani atau kepekaan sosial kemasyarakatan.
Dalam hal kebijaksaan dibidang agraria, harus mempunyai visi yang jelas dengan melihat berbagai faktor, baik faktor ekonomi, sosial budaya dan politik. Sehingga memberikan hasil yang baik bagi rakyat Indonesia.
B.       Saran
Siapapun, lembaga manapun yang bergerak di bidang Agraria kiranya segera melakukan pembaharuan dibidang Agraria, mengingat konflik yang begitu marak di Indonesia. Tidak kalah penting kiranya dalam hukum nasional agraria memberikan tempat yang layak untuk HUKUM ADAT.


[1] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiankan Rakyatnya, Genta Publising, Yogyakarta, 2009, hlm, 3
[2] Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang , 2011, hlm, 72
[3] Ibid, hlm, 75-77
[4] Satjipto Raharjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia,Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 4
[5] A.P. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria, Alumni Bandung,1986, hlm, 6
[6] Novri Susan dalam Ratih Diasari, Pemetaan Konflik Pertanahan Masyrakat Hukum Adat terhadap Tanah Ulayat Di Kabupaten Sorong Selatan, (Penulisan Hukum) Universitas Gadjah Mada, 2010, hlm 105, 
[7] Ibid
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik#Definisi_konflik
[9] Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, RajaGrafindo, Jakarta, 2010, hlm, 3
[10] Ratih Diasari, Pemetaan Konflik... Op. Cit. Hlm 108
[11] Sofia Rachman, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 1, Juni 2010, hlm 160
[12] Sudikno Mertokusomu, Teori  Hukum, Universitas Atmajaya Jogjakarta, Yogyakarta,  2011, hlm 32
[13] Esmi Warassih, Prananta Hukum .... Op. Cit, hlm 102
[14] Ibid, hlm, 101
[15] Ibid, hlm, 103
[16] David Lockwood dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,2006, hlm 17
[17] Boedi Wijardjo et all dalam Ratih Diasari, Pemetaan konflik.... Ibid hlm 109
[18] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2006, hlm 220
[19] Endang Suhendra dan Yohana Budi Winarni dalam Ratih Diasari, Pemetaan Konflik... Ibid Hlm 108
[20] Sofia Rachman, Alternatif Penyelesaian sengketa Pertanahan, Jurnal Cita Hukum, volume 2, Nomor 1, juni 2010, hlm 160
[21] Ibid, hlm  166
[22] Ibid, hlm, 167
[23] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan.....Op.Cit, hlm 189
[24] Ibid, hlm 190
[25] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta, 2009, hlm 2
[26] Ibid, hlm, 1
[27] Sofia Rachman, Alternatif Penyelesaian Sengketa .... Op. Cit, hlm, 173
[28] Esmi Warassih, Pranata Hukum ..... Op. Cit. hlm, 69
[29] Satjipto Rahadjo, Hukum Progresif.... Op.Cit, hlm, 13
[30] H. Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 49
[31] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif .... Op. Cit, hlm, 12
[32] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm, 46
[33] Ibid, hlm, 46
[34] Nurhasan Ismail, Perkembanan Hukum Pertanahan Pendekatan Ekonomi –Politik (Perubahan Pilihan Kepentingan, Nilai Sosial, dan Kelompok Diuntungkan), diterbitkan Kerjasama Huma & Magister Hukum UGM, Jakarta, 2007, hlm, 25
[35] Satjipto Rahardjo, Ilmu.... Op. Cit, hlm 49-51, lihat juga Nurhasan Islamail, Perkembangan Hukum... Ibid hlm, 25
[36] Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum.... Op. Cit , hlm, 26
[37] Maria S.W Sumanrdjono, Kebijakan Pertanahan . . . Op. Cit, hlm, 19
[38] Ibid, hlm, 179
[39] Ibid, hlm 180
[40] Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan .... Op. Cit, hlm 29
[41] Marian S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan... Op. Cit, hlm 30
[42] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif ... Op. Cit, hlm 25
[43] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan... Op. Cit, hlm 188
[44] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif .... Op Cit, hlm 23
[45] Ibid, hlm, 10