Kewenangan
Diskresi Pemerintah Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa
Latar
Belakang
Terkait pengadaan barang dan jasa
yang didasarkan kewenangan diskresi pemerintah yakni pengadaan barang dan jasa
dengan metode penunjukan langsung memiliki kekhasan tersendiri karena tidak
seperti pengadaan barang/ jasa pada umumnya yang melalui lelang. Pengadaan
barang dan jasa dengan cara penunjukan langsung merupakan pelaksanaan dari
kewenangan diskresi aparat pemerintah untuk menggunakan dan membelanjakan keuangan
negara sehingga harus dapat dipertanggungjawabkan aspek kemanfaatan sebagai
tujuan. Aktivitas pengadaan barang dan jasa terdapat 3 (tiga) pelaku utama
yaitu pengguna/pengusul, penyedia barang/jasa dan pelaksana pengadaan.Tanggung
jawab dalam pengadaan barang dan jasa tertuju kepada pihak-pihak yang memiliki
kecakapan hukum baik secara perorangan, jabatan maupun korporasi. Diskresi
rentan untuk dianulir baik secara politik maupun secara hukum, terlebih lagi
bila diskresi itu sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang pada
prinsipnya menekankan aspek legalitas.
Pada
dekade 1980-an, Sumitro Djojohadikusumo melansir, kebocoran anggaran Negara
mencapai 30% setiap tahunnya. Di sisi lain, riset CIDES pada akhir 1990-an juga
menyampaikan, biaya produksi perusahaan hampir 30% tidak berkait langsung
dengan ongkos produksi riil, tapi lebih banyak berkaitan pungli, yang
menimbulkan high cost economy. Bahkan, hingga saat ini pun, potensi kebocoran
APBN terus menggelayut. Hasil audit BPK (2011) melansir, dalam kurun waktu
tujuh tahun (2003-2010), jumlah APBN yang tidak jelas peruntukannya mencapai
Rp103 triliun. Komposisi terbesar kebocoran terletak pada dana pengadaan barang
dan jasa. Indikatornya, terlihat pada
penetapan harga perhitungan sendiri selalu lebih mahal 20-30 persen dari harga
pasar. Bank Dunia pun pada 2008, melansir tingkat kebocoran anggaran pengadaan
sekitar 10-50 persen.[1] "Sekitar
70-80 persen kasus korupsi yang ditangani KPK adalah pengadaan barang dan
jasa," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., Rabu, 18 April 2012. Johan
mengatakan, proyek pengadaan tersebut sangat rawan dikorupsi oleh pihak-pihak
terkait. Di samping dengan cara penunjukan langsung, juga melalui
penggelembungan harga barang dan jasa.[2]
Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan penunjukan tidak serta merta
menjadi tindak pidana korupsi, karena ada penunjukan langsung yang sesuai
dengan ketentuan. Dengan demikian maka tolok ukur ataupun parameter dalam
mengawasi kebijakan dalam pengadaan barang dan jasa dengan penunjukan langsung
harus terdapat patokan yang jelas baik aspek kewenangan, substansi dan prosedur
demi menjamin kepastian hukum. Salah satu contoh pengadaan barang dan jasa yang
berdasarkan kebijakan dan telah menjadi kasus korupsi, sebut saja kasus mantan
Menteri Kesehatan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan
untuk buffer stock/KLB oleh kepala pusat penanggulangan masalah kesehatan 2005[3],
kasus Bulog/Akbar Tandjung, dan lain-lain. Banyaknya kasus yang melibatkan
aparat pemerintah dalam pengadaan barang/jasa menunjukan bahwa kewenangan
diskresi yang terlalu besar berpotensi dilakukannya penyalahgunaan wewenang
sehingga kebijakan diskresi bukan lagi sarana memberikan manfaat melainkan
kerugian dibidang keuangan negara untuk diperlukan akuntabililtas dalam
pelaksanaanya.
Berdasarkan
kewenangan diskresi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa maka penulis
mencoba mengembangkan dua permasalah yang menurut penulis perlu untuk didalami
lebih jauh yaitu :
1. Bagaimanakah
konsep kewenangan diskresi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa?
2. Bagaimanakah
kontrol hukum atas tindakan diskresi pemerintah yang menggunakan dalam
pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Diskresi
Sebagai sebuah negara hukum tentu sumber
kewenangan pemerintah untuk menjalankan fungsinya bersumber pada peraturan
perundang-undangan. kewenangan tersebut adan yang bersifat terikat dan bersifat
bebas (diskresioner).[4] Dalam
sebuah negara kesejahteraan welfare state ekspektasi rakyat terhadap pemerintah
sangatlah besar, sehingga fungsi pemerintah juga menjadi luas guna mewujudkan
harapan masyarakat. Dengan kondisi yang demikian tidak mungkin seluruh
kebijakan pemerintah dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan
sehingga kebebasan bertindak pemerintah diperlukan untuk mengisi kekosongan.
Memang idealnya setiap langkah dan perbuatan penguasa harus berdasarkan kaidah
hukum yang berlaku, akan tetapi dalam kenyataannya ajaran wetmatigheid van
bestuur ini kadang-kadang hanyalah fiksi belaka.[5] Diskresi
merupakan kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap kondisi yang
dihadapi.[6]
Kebebasan mengambil keputusan sendiri tersebut seringkali menjadi sumber
kontroversi manakala tolok ukur tiap pemangku kepentingan memberikan penilaian
yang berbeda-beda terhadap tindakan diskresi. Konsep Kekuasaan diskresi
pemerintah dapat dilakukan dengan pendekatan analitik, yuridis, dan filosofis[7].
Dengan pendekatan yang demikian konprehensif akan membantu memaknai konsep
diskresi yang sesungguhnya.
Diskresi seringkali diperhadapkan dengan
asas legalitas, dalam sebuah negara hukum asas legalitas menempati kedudukan
utama. Konsep yuridis kekuasaan diskresi berimpitan dengan dan tarik menarik
dengan konsep legalitas. Bila menerapkan asas legalitas secara kaku maka
pemerintah akan mengalami kesulitan dalam mengantisipasi perkembangan yang
terjadi di dalam masyarakat, karena setiap pemerintah harus menunggu adanya
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif. Beranjak dari
hal itu maka kekuasaan diskresi dapat dikatakan delegasi dari pembentuk
undang-undang untuk melakukan tindakan nyata maupun tindakan hukum dalam
menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Krishna D. Darumurti mengatakan bahwa
diskresi yang ada pada pemerintah tersebut merupakan sisa/residu dari kekuasaan
pembentuk undang-undang yang tidak seluruhnya tercakup di dalam legislasi.[8] Memang
senyatanya tidak semua peristiwa atau persoalan dapat dipecahkan oleh
produk-produk legislatif, hal itu memberikan kebebasan pihak eksekutif sebagai
pelaksana undang-undang untuk bisa mengambil kebijakan yang harus dipertanggung
jawabkan.
B.
Diskresi
dalam Pengadaan Barang/Jasa
Dalam
sebuah negara berkembang peningkatan sarana baik fisik maupun sumberdaya
manusia adalah hal yang pokok. Hal pokok karena tanpa infrastruktur dan sumber
daya manusia yang memadai sebuah negara yang berkembang akan mengalami hambatan
untuk mencapai tujuannya. Untuk mencapai tujuan itu salah satu bentuk yang
nyata dari pemerintah adalah diadakannya pengadaan barang dan jasa. Pengadaan
tersebut memerlukan anggaran yang besar baik yang bersumber dari APBN maupun
APBD. dalam pelaksanaan pengadaan tersebut pihak pemerintah merupakan pihak
yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa. Secara umum pengadaan barang
dan jasa dilakukan dengan lelang. Lelang sebagai sebuah proses yang harus
dilakukan untuk pengadan barang dan jasa dalam keadaan yang normal, untuk
keadaan-keadaan tertentu maka mekanisme lelang tidak diterapkan, melainkan
dengan metode penunjukan langsung. Jadi kewenangan diskresi itu diwujudkan
dalam menetapkan metode pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan
langsung.
Peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pengadaan barang dan
jasa adalah Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai metode pengadaan barang dan jasa
dengan Penunjukan langsung. penunjukan adalah metode pemilihan penyedia
barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa.[9]
Metode ini merupakan metode yang khusus diterapkan pada keadaan tertentu dan
terkait barang atau pekerjaan khusus. Terdapat perbedaan dalam Kepres No. 80
tahun 2003 dengan Perpres No 54 tahun 2010 dalam hal penunjukan langsung
pengadan barang dan jasa.
Matriks Perbedaan Antara Peraturan
Presiden No. 54 Tahun 2010 dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 terkait
Metode Penunjukan Langsung Barang dan Jasa.[10]
Metode pengadaan
|
Kepres
No. 80 Th 2003
|
Perpres
No. 54 Th 2010
|
Penunjukan Langsung
|
a.
Keadaan tertentu adalah:
1).
Penanganan darurat –
dst.....(kalimat dianggap kurang jelas)
|
a.
Keadaan tertentu adalah:
1)
penanganan darurat yang tidak dapat direncanakan
sebelumnya dan waktu penyelesaiannya harus segera untuk:
a.
pertahanan negara, dan/atau
b.
keamanan masyarakat, dan/atau
c.
keselamatan/perlindungan masyarakat:
1) akibat adanya bencana alam dan/atau
bencana nonalam dan/atau bencana sosial; dan/atau
2) dalam rangka pencegahan bencana;
dan/atau;
3) akibat kerusakan infrastruktur yang
dapat menghentikan kegiatan pelayanan publik.
|
b.
Keadaan khusus adalah: dst.... hanya ada 5 jenis,
diantara-nya:
- Pengadaan barang/jasa
yang bersifat rahasia
|
a.
Barang/pekerjaan khusus adalah....dst (ditambahkan
4 jenis barang/pekerjaan):
1.
pekerjaan pengadaan mobil, sepeda motor dan/atau
2.
kendaraan bermotor lainnya dengan harga khusus
untuk pemerintah (Government Sales Operation/ GSO);
3.
sewa penginapan/ hotel; atau
4.
lanjutan sewa gedung/kantor, dan lanjutan sewa
ruang terbuka atau tertutup lainnya.
§ Pengadaan
Barang/Jasa yang bersifat rahasia tidak lagi termasuk dalam kategori
barang/jasa yang dapat dilakukan dengan Penunjukan lansung.
|
|
Batasan
Penunjukan Langsung
|
•
Keadaan tertentu, antara lain: batasan nilai ≤ Rp 50 juta
•
Barang khusus
|
Tanpa batasan
nilai untuk pengadaan dalam keadaan tertentu dan barang khusus
|
Dengan perbandingan dua ketentuan
tersebut dapat dilihat bahwa ketentuan yang baru (Perpres No 54 tahun 2010)
lebih rinci memuat kriteria “Keadaan Tertentu” yang menjadi dasar diambilnya kebijakan.
Keadaan tertentu inilah yang memberikan ruang bagi pejabat untuk menggunakan
wewenang diskresi, karena undang-undang tidak merinci secara tegas bagaimana
wewenang itu digunakan.[11] Yang
menarik pengadaan barang/jasa yang bersifat rahasia tidak lagi termasuk dalam
kategori barang/jasa yang dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung.
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa barang/jasa yang bersifat rahasia bukan lagi
menjadi dasar kebijakan atau diskresi dalam menetapkan metode penunjukan
langsung pengadaan barang/jasa.
Perpres No 54 tahun 2010 mengatur
tentang kewenangan ULP/Pejabat Pengadaan untuk memilih sistem pengadaan
pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.[12]
Pemilihan penyedia barang/jasalainnya itu dilakukan dengan pelelangan yang
terdiri atas pelelangan umum dan pelelangan sederhana, penunjukan langsung,
pengadaan langsung, atau kontes/sayembara.[13]
Sedangkan dalam pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi terdapat perbedaan,
kalau pemilihan dalam pengadan barang/jasa itu terdapat pelelangan sederhana,
lainnya halnya dengan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi terdapat
pelelangan terbatas, selebihnya kedua-duanya sama.[14] sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan dalam Perpres tersebut seperti keadaan
darurat, kemudian barang-barang khusus/perkerjaan khusus.[15]
Namun bila berbicara kewenangan siapa yang berwenang menetapkan penyedia
barang/jasa dengan metode penunjukan langsung adalah Pengguna Anggaran, ULP dan
Pejabat Pengadaan.
Pengguna Anggaran
(pasal 8 ayat (1) huruf f Perpres 54/2010)
|
Unit Layanan
Pengadaan (pasal 17 ayat (2) huruf g angka (2) Perpres 54/2010)
|
Pejabat Pengadaan
(pasal 17 ayat (2) huruf h angka (1) Perpres 54/2010)
|
Menetapkan:
1.
Pemenang pada
Pelelangan atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau
2.
Pemenang pada
Seleksi atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi
dengan nilai diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|
Menetapkan Penyedia
Barang/Jasa untuk:
a.
Pelelangan
atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa
Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); atau
b.
Seleksi atau
Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai
paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
|
Menetapkan Penyedia
Barang/Jasa untuk:
a.
Penunjukan
Langsung atau Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/ Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah); dan/atau
b.
Penunjukan
Langsung atau Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang
bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
|
C.
Para
Pihak dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pengguna Anggaran dalam Pengadaan
Barang dan Jasa
Dalam
Perpres No 54 tahun 2010 tidak menjelaskan tentang pejabat yang berwenang
sebagai pengguna anggaran, namun di atur dalam peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Di dalam undang-undang tersebut yang dapat menjadi Pengguna Anggaran/Pengguna barang adalah Menteri/Pimpinan Lembaga bagi
kementerian/lembaga yang dipimpinnya.[16]
Ditingkat daerah yang menjadi pengguna anggaran/barang adalah gubernur,
bupati/walikota[17]dan
dilingkungan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) adalah kepala SKPD di
lingkungan SKPD yang dipinpinnya.[18] Pengguna
Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan
pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.[19]
sehubungan dengan pengadaan barang dan jasa maka secara rinci diatur mengenai
kewenangan pengguna anggaran, ketentuan tersebut adalah Perpres No 54 tahun
2010 tentang pengadaan barang dan jasa.[20]
Kuasa Pengguna Anggaran dalam
Pengadaan Barang dan Jasa
Pasal
1 Angka 6 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Kuasa Pengguna Anggaran
sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan
oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Sebagaimana definisi PA, definisi
KPA tersebut mengacu pada definisi KPA dalam pasal 1 angka 18 UU No. 1 Tahun
2004.
Mengenai
siapa yang dapat menjadi KPA tidak diatur, mengingat bahwa definisi KPA adalah
pemegang kuasa dari Pengguna Anggaran, karena penetapannya berupa pelimpahan
wewenang dengan memberi kuasa maka siapa saja dapat ditetapkan oleh PA sebagai
KPA dengan pertimbangan tertentu. mengacu pada Perpres No. 10 tahun 2010 KPA ada yang ditetapkan oleh PA untuk
Kementerian/institusi pusat, di tingkat daerah ditetapkan oleh kepala daerah
atas usul PA, dan KPA untuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ditetapkan
oleh PA pada Kementerian/lembaga/institusi pusat lainya atas usul kepala
daerah.[21]
Dengan ditetapkanya KPA maka KPA memiliki kewenangan sesuai dengan pelimpahan
oleh PA.[22]
Arti kata pelimpahan dalam bahasa indonesia mempunyai makna “ proses, cara,
perbuatan melimpahkan (memindahkan) hak, wewenang.[23]
Jadi dalam konteks kedudukan kuasa pengguna anggaran dalam pengadaan barang dan
jasa, kewenangan Kuasa Pengguna Anggaran adalah Kewenangan Pengguna Anggara
sesuai dengan Perpres No 54 tahun 2010.
Kedudukan Pejabat Pembuat Komitmen,
Pejabat Pengadaan dan Unit Layanan Pengadaan dalam pengadaan Barang dan jasa
Pejabat
Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.[24] Kewenangan
PPK secara lengkap diatur dalam pasal 11 Perpres No.54 tahun 2010.[25] Pasal
1 Angka 9 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pengadaan adalah
personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dari definisi tersebut jelas bahwa dalam
pengadaan barang/jas PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
pengadaan barang/jasa, dan yang melaksanakan pengadaan adalah pejabat pengadaan
yangmana kedudukan Pejabat Pengadaan secara fungsi sama dengan Unit Layanan Pengadaan
(ULP). Khusus dalam pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung
ULP dan pejabat mempunyai perbedaan dalam hal menetapkan penyedia barang/jasa
seperti telah diuraikan sebelumnya.
Kedudukan Penyedia Barang dan Jasa
Penyedia
barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan
barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya.[26]
Dari definisi yang diberikan oleh Perpres tersebut maka penyedian barang/jasa
dapat berupa badan usaha atau perseorangan. Bagi badan usaha atau perseorangan
yang ingin menjadi atau menjadi penyedia barang/jasa haruslah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.[27]penyedia
barang/jasalah yang melakukan dan melaksanakan pekerjaan yang telah disepakati
dalam bentuk perjanjian/kontrak.
D. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Asas-asas
umu pemertinahan yang baik merupakan asas yang menjadi acuan bagi pemerintah
dalam menjalankan fungsinya. Dari kalangan ahli asas-asas umum permerintahan
yang baik itu berkembang melalui yurisprudensi atau putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dan selalui diikutu oleh para hakim dalam
memutus sengketa atau perkara yang diajukan. Walaupun secara doktrinal
berkembang melalui yurisprudensi, para legislator juga tidak mau ketinggalan
agar asas-asas tersebut dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Krishna D. Darumurti mengelompokan dua rumpun asas-asas umum pemerintahan yang
baik, rumpun pertama adalah asas yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28
tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN dengan
sebutan asas-asas umum penyelenggaraan negara, dan rumpun yang kedua adalah
asas yang terdapat dalam doktrin hukum administrasi yang disebut dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kedua asas tersebut dapat dikelompokan
dalam satu nama yaitu asas pemerintahan yang baik.[28] Dalam
pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tersebut mencantumkan tujuh asas
penyelenggaraan negara yaitu:
1. Asas
kepastian hukum
2. Asas
tertib penyelenggaraan negara
3. Asas
kepentingan umum
4. Asas
keterbukaan
5. Asas
proporsionalitas
6. Asas
profesionalitas
7. Asas
akutabilitas
Pengaturan
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang diakui sebagai asas-asas umum
pemerintahan yang baik oleh penjelasan pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2004 adalah enam asas yang terdapat dalam undang-undang Nomor 28
tahun 1999, kecuali asas kepentingan umum.
Pengadaan
barang/jasa juga mengenal prinsip-prinsip yang dapat dikatakan sebagai asas
yang mendasari praktek-praktek pengadaan barang dan jasa. Prinsip-prinsip
tersebut adalah:
a. Efektif
b. Efesien
c. Transparan
d. Terbuka
e. Bersaing
f. Adil/tidak
diskriminatif
g. Akuntabel
Prinsip-prinsip
tersebut berlaku dalam semua tahapan pengadaan barang dan jasa, baik dengan
metode lelang, maupun metode penunjukan langsung. Muchsan membagi dua kelompok
besar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni :
a. Asas-asas
prosedural murni, yakni asas-asas yang berkaitan dengan cara pembentukan suatu
perbuatan administratif. Apabila prosedur ini tidak diperhatikan pada waktu
perbuatan administratif dilakukan, perbuatan tersebut harus dinyatakan batal,
tanpa adanya pemeriksaan lebih mendalam.
Termasuk dalam asas
ini, yakni :
a.1. Asas “that no man may judge in his own causa”
atau juga disebut asas “likehood bias”.
Dalam asas ini, seseorang yang memiliki
pengaruh atas terjadinya suatu perbuatan administrasi dilarang mempunyai
kepentingan dengan perbuatan tersebut.
a.2. Asas “audi et alterampartem”
Asas ini menyatakan bahwa
keputusan-keputusan untuk melakukan perbuatan administrasf yang bertentangan
dengan kepentingan seorang warga masyarakat tidak boleh dikeluarkan sebelum
warga masyarakat yang terkena oleh perbuatan tersebut diberi kesempatan untuk
membela diri.
a.3. Asas yang menyatakan bahwa pertimbangan dari
suatu perbuatan administratif harus serasi atau mendukung konklusi (diktumnya),
dan pertimbangan tersebut harus berdasarkan fakta-fakta yang benar.
b. Asas-asas yang terdiri dari
ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang bersifat meterial. Asas ini tidak
berkaitan dengan cara pembentukan suatu perbuatan hukum administratif, melainkan
berkaitan dengan isi/materi dari perbuatan administratif itu sendiri. Termasuk
dalam asas ini adalah :
b.1. Asas kepastian hukum (the principle of legal
security)
Berdasarkan asas ini, pemerintah harus
selalu berpegang pada aturan mainnya sendiri, dan hanya boleh menyimpang dalam
hal-hal yang istimewa (luar biasa)
b.2. Asas keseimbangan (the principle of
proportionality)
Asas ini menolak tindakan pemerintah
sewenang-wengan (willekeur), dan tindakan yang tidak sama untuk peristiwa
(kasus) yang sama.
b.3. Asas kecermatan/hati-hati (the principle of
carefulness)
Asas ini menuntut dari pemerintah
tindakan yang bijak, tepat, dan hati-hati.
b.4. Asas ketajaman dalam menentukan sasaran (the
principle of good object)
berdasarkan asas ini setiap tindakan
pemerintah harus diarahkan kepada tujuan yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan.
b.5. Asas permainan yang layak (the principle of
fair play)
Asas ini memberikan kesempatan yang sama
kepada warganya untuk memberikan informasi selengkapnya dan untuk mencari
keadilan. Dari pihak pemerintah sendiri diharapkan suatu sikap terbuka, itikat
baik dan keiklasan.
b.6. Asas Kebijakan (the principle of cleverness)
Asas ini menghendaki bahwa aparat
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya hendaknya berpandangan jauh kedepan.
Maksudnya dalam menciptakan keputusan-keputusannya aparat pemerintah harus
dapat meramalkan dengan tetap gejala-gejala sosial yang mungkin timbul yang
dapat menunjang serta berkaitan dengan kaidah hukum konkret tersebut. Dengan adanya
asas ini, maka keputusan pemerintahan diharapkan akan selalu sesuai dengan
situasi dan kondisi, yang berarti keputusan tersebut mempunyai sifat
kedinamisan yang tinggi.
b.7. Asas gotong royong (the principle of solidarity)
Dalam prinsip ini terkandung suatu
ajaran, bahwa merupakan kewajiban bagi aparat pemerintah dalam menciptakan
produk-produk hukum, hendaknya menghayati dan memperhatikan rasa keadilan,
kesadaran hukum dan kebudayaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian produk hukum yang dihasilkannya tidak hanya berdasarkan kesadaran
hukum penguasa saja, akan tetapi merupakan perpaduan yang serasi antara
kesadaran hukum penguasa dengan kesadaran hukum masyarakat.[29]
Dalam
pengadaan barang dan jasa, khususnya yang diadakan dengan metode penunjukan
langsung, asas-asas umum pemerintahan yang baik memiliki peranan yang penting.
Penting dikarenakan oleh posisinya sebagai sebuah paradigma dalam mengambil
keputusan atau tindakan administrasi negara yang berhubungan dengan perencanaan
sampai pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian asas-asas itu dapat tercermin
dalam segala tindakan aparat pemerintah dalam rangka penegakan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang
bersih (clean government).
E. Hubungan Diskresi, Penyalahgunaan
Wewenang dan Korupsi
Sebagaimana
telah disinggung diawal tulisan ini, bahwa diskresi sangat rentan dengan
penyalahgunaan wewenang pada suatu jabatan yang berpotensi menimbulkan keuangan
negara, begitu juga halnya pada pengadaan barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung. Isu dugaan terjadinya korupsi
saat ini menempati posisi yang luar biasa, ini dapat dilihat dari berbagai
media yang memberitakan kasus korupsi baik ditingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Hal tersebut akan memberikan stigma bahwa “tiada hari tanpa korupsi”. Robert
Klitgaard dalam bukunya yang berjudul Corrupt
Cities, a Practical Guide to Cure and Prevention (Penuntun Pemberantasan
Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah) menjelaskan terjadinya korupsi dengan
membuat rumus sebagai berikut:[30]
C
= M + D – A
Keterangan
C : Corruption;
M : Monopoly Power
D : Discretion by officials;
A : Accountability
Rumus
tersebut diajukan dalam kaitannya dengan strategi pencegahan (preventif)
korupsi yang bersumber pada akar permasalahan muncul peluangnya korupsi, yaitu
karena adanya monopoli kekuasaan (monopoly power) didukung oleh adanya
kewenangan untuk mengambil keputusan (discretion by officials) namun tidak ada
pertanggungjawaban (accountability). Dalam hal mengambil keputusan tentu aparat
pemerintah harus mendasarkan diri pada kewenangnya baik kewenangan yang
bersumber dari atribusi, delegasi dan mandat. Kaitan penyalahgunaan wewenang
dengan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 yang menyebutkan :
Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
satu tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.1.000.000.0000
(satu milyar rupiah). Dengan rumusan tersebut unsur-unsurnya adalah :
- Pelaku
(manusia dan korporasi)
- Menguntungkan
diri sendiri, orang lain, pelaku, atau korporasi
- Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
- Merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara.
Dalam
setiap kewenangan memiliki potensi penyalahgunaan, baik karena jabatan atau
karena kedudukannya. Undang-undang tidak memberikan jenis jabatan atau kedudukan
yang dimaksud. Ketentuan pasal 3 undang-undang tersebut diatas merupakan jenis
tindak pidana yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan yang berkaitan
dengan keuangan negara dan perekonomian negara, sehingga suatu kewenangan yang
berhubungan dengan keuangan negara atau perekonomian negara pada umumnya adalah
kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang diberikan oleh
undang-undang terhadap pejabat publik termasuk pengawai negarai.[31] Unsur
penyalahgunaan kewenangan ditafsirkan Lilik Mulyadi secara sempit, yaitu bahwa
korupsi dalam tipe ini diterapkan kepada pejabat negara/pegawai negari, karena
hanya pada pegawai negarilah yang dapat meyalahgunakan jabatan, kedudukan dan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya.[32]
Mengingat
bahwa baju uji tindakan diskresi adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik,
dengan demikian maka untuk menjelaskan konsep penyalahgunaan wewenang Amiruddin
menggunakan istilah “meminjam konsep yang ada pada hukum administrasi.[33]
Penyalahgunaan wewenang (detorunement de puovoir) terjadi apabila aparat
pemerintah menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan
umum lain daripada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi
dasar wewenang itu. Dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik larangan
penyelahgunaan wewenang memiliki parameter, yaitu :
a. Tindakan
bertentangan dengan tujuan kekuasaan/kewenangan
b. Tujuan
yang tidak tepat
c. Penggunaan
kewenangan secara patut;dan
d. Penggunaan
kewenangan sesuai denga tujuanya.[34]
Jadi
tindakan penyalahgunaan kewenanga yang berhubungan dengan tindakan diskresi
pemerintah haruslah dinilai apakah tindakan itu bertentangan dengan tujuan
kewenangan, atau sudah tepatkan tujuan yang dicapai. Hal ini haruslah dilihat
dari asas efesiensi dan efektivitas tindakan diskresi pemerintah, yang
penekanannya terdapat pada aspek kebutuhan dan kemanfaatannya. Dengan demikian
yang diperhatikan adalah dampak dari tindakan diskresi itu sendiri, yang mana
oleh Krishna D. Darumurti dampak dari tindakan itu tidak hanya berlaku pada
waktu tindakan terjadi, tetapi juga untuk jangka waktu tertentu, yaitu jangka
pendek, menengah, dan jangka panjang. Pengujian yang demikian ratione temporis
disebut dengan pengujian ex nunc.[35]
F.
Kontrol
Hukum Terhadap Kekuasaan Diskresi dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pengawasan/kontrol
terhadap perbuatan pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat dilakukan oleh
sesama aparat pemerintah atau aparat lain yang berada diluar tubuh eksekutif
secara fungsional. secara skematis, pengawasan tersebut dibedakan dalam dua
jenis, yaitu pertama pengawasan administratif yang berbentuk pengawasan melekat
dan pengawasan fungsional dan kedua adalah pengawasan oleh kekuasaan kehakiman,
baik secara keperdataan, administrasi[36] dan
juga pidana. Dalam tulisan ini penulis hanya membatasi pada fungsi pengawasan
yang dilakukan oleh lembaga yudisial dalam pengadaan barang dan jasa, dimana
aspek hukum admimistrasi lebih mendapatkan porsi yang lebih, karena pengadaan
barang dan jasa dengan metode penunjukan langsung, merupakan pelaksanaan
kewenangan diskresioner pemerintah.
Eko
Prasojo, menyoroti kasus korupsi yang terkait dengan sejumlah menteri, Dia
mengutarakan bahwa salah satu yang menjadi penyebabnya adalah kewenangan
diskresi yang besar. Sampai saat ini penggunaan kewenangan
diskresi di Indonesia masih dilakukan secara bebas, sesuai dengan terminologi
yang dipergunakan yaitu Freis Ermessen.[37]
Terlalu bebasnya kewenangan diskresi memerlukan sarana kontrol untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan yang akan mengatas namakan kekuasaan diskresi.
Kontrol
terhadap kewenangan diskresi dapat melalui kontrol administratif, politik dan
yudisial. Karena konsep diskresi merupakan konsep dalam hukum administrasi,
dengan demikian norma hukum administrasi dijadikan instrumen untuk menilai
apakah perbuatan diskresi tersebut perbuatan sewenang-wenang atau
penyalahgunaan wewenang. Perbuatan sewenang-wenang dan perbuatan penyalahgunaan
wewenang sangat rentan terjadi dalam kewenangan diskresioner sehingga prinsif
umum bahwa kebijakan tidak dapat diuji oleh lembaga yudisial menjadi luruh.[38] Kewenangan
diskresi tidak diuji dengan wetmatigheid melainkan doelmatigheid, karena konsep
diskresi berorientasi pada tujuan kemanfaatan, bukan kepastian hukum dalam arti
harus sesuai dengang peraturan perundang-undangan, sehingga yang menjadi
pijakan normatif pengujian tindakan diskresi adalah asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Mencermati
bahwa metode penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa merupakan tindakan
diskresi aparat pemerintah, maka tindakan itu harus didasarkan pada tujuan
kemanfaatan bagi kepentingan umum dengan memperhatikan asas-asas dan etika
dalam pengadaan barang dan jasa[39].
Penanganan
atas kasus korupsi yang melibatkan aparatur pemerintah tidak dapat dilihat dari
salah satu aspek hukum saja yakni hukum pidana saja, tetapi juga aspek hukum
administrasi negara, mengingat para pelaku dalam pengadaan barang dan jasa
adalah pejabat negara dan juga pegawai negari sipil. Hal ini penting karena
bertujuan memberikan pemahaman terhadap konsep “penyalahgunaan wewenang” dengan
konsep melawan hukum atau melanggar hukum.[40] Dengan
adanya pembedaan tersebut maka memudahkan dalam proses penegakan hukum yang
mengangkut pengelolaan keuangan negara. Dengan pendekatan yang demikian maka
akan diperoleh keadilan dalam penegakan hukum yang menempatkan subjek hukum
sesuai dengan posisi atau jabatannya. Dalam kapasitas seseorang sebagai aparat
pemerintah yang mengambil dan melaksanakan kewenangan diskresi tidak dapat
dipisahkan posisinya sebagai pribadi, maupun sebagai pejabat yang sedang
menjalankan fungsi pemerintahannya. Dengan demikian maka perbuatan melawan
hukum atau perbuatan melanggar hukum adalah tanggung jawab pribadi sedangkan
sedangkan penyalahgunaan wewenang berdampak pada tanggung jawab jabatan.
Terdapat
beberapa kasus yang telah terjadi yang didasarkan kewenangan diskresi yang
kontroversial. Kasus tersebut diantaranya adalah kasus Release and Discharge BLBI,
kasus Bulog/Akbar Tandjung dan Bail Out Century, dimana kasus-kasus tersebut
sarat dengan muatan politik.[41]
Dalam penulisan ini penulis merujuk pada
kasus penting, yaitu kasus Bulog/Akbar
Tandjung yang dipaparkan oleh Amirudding.
Mengacu
pada kasus tersebut Amiruddin memberikan analisis terhadap kasus Bulog/Akbar
Tandjung yang penanganannya pada pengadilan tingkat pertama dan banding dengan
menggunakan instrumen hukum pidana, tetapi penanganan pada tingkat kasasi salah
satu pertimbangan Hakim Agung adalah menggunakan konsep hukum administrasi
yaitu berkaitan dengan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi.[42]
Putusan Mahkamah Agung Nomor 572/K/Pid/2003 (Khusus untuk Akbar Tandjung)
adalah sebagai berikut:
- Menyatakan
terdakwa I: Ir. Akbar Tandjung tersebut tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya
dalam dakwaan primair dan subsidair;
- Membebaskan
terdakwa dari dakwaan primair dan subsidair;
- Memulihkan
hak terdakwa tersebut dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.
Hal-hal
yang menjadi pertimbangan MA, antara lain berkenaan dengan unsur pasal 1 ayat
(1) sub. B Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 sebagaimana dalam dakwaan primair,
menurut MA bahwa unsur yang paling utama (bestanddeel delict) adalah
“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan.”[43]
Dalam membuktikan unsur tersebut, MA telah tepat mempertimbangkan aspek
tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, sebagai tercermin dalam
pertimbangannya sebagai berikut[44]:
- Bahwa
manakala suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun
jabatan dan kedudukan seperti halnya yang didakwakan terhadap diri terdakwa
ke-I, maka menurut hemat mahkamah agung hal tersebut tidak terlepas dari
pertimbangan-pertimbangan hukum atau aspek hukum administrasi negara, dimana
pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungan jawab jabatan (liability jabatan)
yang harus dibedakan dan dipisahkan dengan prinsip pertanggungan jawab
perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) sebagaimana yang
berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana.
- Bahwa
oleh karenanya ditinjau dari segi hukum administrasi negara pertanggungjawab
atas keluarnya uang sejumlah Rp. 40.000.000.000 dari uang dana non budgeter
Bulog bukanlah terdakwa I (Ir. Akbar Tandjung) dan tidak dapat dipersalahkan
padanya, sebab terdakwa I sebagai Mensesneg dan Koordinator hanya menerima dan
melaksanakan sesuai perintah jabatan Presiden dan Para Menterinya dalam sistem
ketatanegaraan kita, berdasarkan ketentuan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945,
menteri adalah pembantu presiden, khususnya bagi seorang Mensesneg yang
berfungsi sebagai pemberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari
kepada presiden, bukan sebagai penentu keputusan (decision maker). Maka dengan landasan
tersebut, responsability administrasi negara ada pada presiden, demikian pula
in casu dikaitkan dengan Petunjuk atau desposisi Presiden dan tidak pada
Menteri Sekretaris Negara karena bukan inisiatif menesesneg mengeluarkan Rp. 40
Miliar tersebut dari dana non budgeter Bulog, kecuali bilamana ternyata ada
tindakan penyelewengan dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh menteri yang
bersangkutan, yang harus dibuktikan dari segi hukum pidana atas tindak pidana
yang didakwakan,dan menjadi tanggung jawab pribadi. Oleh karenanya, dalam kasus
penyaluran sembako ini yang berawal mula dengan keluarnya dana sejumlah Rp. 40
Milyar dari dana non budgeter Bulog atas perintah dan persetujuan presiden,
maka pertanggungan jawab yang berlaku adalah asas vicarious liability, yang
intinya adalah bahwa atasanlah yang harus bertanggung jawab.
Mengacu
pada pertimbangan tersebut, Amiruddin mengatakan bahwa telah terjadi
pergerseran dalam menentukan ada atau tidaknya kesalahan terdakwa dalam tindak
pidana korupsi pengadaan barang dan jasa, tidak saja ditinjau dari aspek hukum
pidana, tetapi juga harus ditinjau dari aspek hukum administrasi. Dalam hukum
administrasi, kesalahan jabatan menjadi tanggung jawab jabatan, dan kesalahan
pribadi menjadi tanggung jawab pribadi, tanggung jawab pribadi adalah tanggung
jawab pidana.[45]
Tanggung jawab jabatan ini sebagai konsekuensi logis Jabatan sebagai subjek
hukum. Muchsan, merujuk pada Pendapat Logeman bahwa negara adalah himpunan
jabatan-jabatan yang diadakan oleh negara untuk mewujudkan tujuan negara,
sehingga jabatan ini seolah-olah (sifat personefikasi) sebagai subjek hukum.[46] Dengan
demikian maka benar jabatan itu mempunyai kapasitas sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Bila melihat pertimbangan MA tersebut, MA melihat struktur
ketatanegaraan dengan melihat hubungan antara menteri dengan presiden, sehingga
seluruh tanggung jawab adalah pada administrator tertinggi yaitu presiden.
Oleh
karena itu adalah tepat, MA mempertimbangkan bahwa keluarnya uang sejumlah Rp.40
Milyar dari dana Non Budgeter Bulog bukanlah tanggung jawab pribadi Ir Akbar
Tandjung dan tidak dapat dipersalahkan kepadanya, melainkan sebagai Mensesneg
meneriman dan melaksanakan sesuai perintah (lisan) jabatan dari presiden RI.
BJ. Habibie, sehingga apabila terjadi kesalahan maka kesalahan itu merupakan
kesalahan jabatan dan pada gilirannya adalah menjadi tanggung jawab jabatan.
Konsekuensi logis dari pertimbangan MA yang membedakan antara tanggung jawab
jabatan dan tanggung jawab pribadi adalah berkaitan dengan tanggung jawab
pidana, tanggung gugat perdata, dan tanggung gugat tata usaha negara.[47]
Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam kaitannya dengan
tindakan pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat apabila ada tindakan
maladministrasi.[48]
Dari kesimpulan MA tercermin bahwa apa yang dilakukan terdakwa adalah tidak
termasuk tindakan maladministrasi, karena menurut MA bahwa:
“...apa yang dilakukan
terdakwa I, yaitu menerima dana budgeter sebesar Rp. 40 Milyar kemudian diserahkan
kepada terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk
masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada pada terdakwa I baik selaku MENSESNEG maupun selaku koordinator
yang menangani program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut, tetapi
merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seorang
koordinator/MENSESNEG dalam KEADAAN DARURAT sesuai dengan kewenangan
diskresioner yang ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai
atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menenpuh
prosedur dari cara-cara dalam keadaan nominal, terlebih pula penggunaan dan
pengelolaan keuangan negara dalam bentuk dana non budgeter hanya diatur oleh
apa yang disebut konvensi, tidak seperti halnya keuangan negara dalam bentuk
APBN yang penggunaan dan pengelolaannya diatur oleh kepres, misalnya untuk
pengadaan barang oleh pasal 21sampai dengan 30 dalam Kepres No 16 tahun 1999
dan Kepres No 18 tahun 2000 sebagaimana dikemukakan diatas;”
Mencermati Pertimbangan
MA
“bahwa dengan demikian
dalam memeriksa kasus perkara ini, oleh mahkamah agung dibedakan antara tahap
fakta hukum mengenai keluarnya dana sejumlah Rp.40 Milyar dari dana non
budgeter Bulog sampai pada tahap diserahkan dan diterimanya beberapa cek
sejumlah dana tersebut oleh terdakwa I, yang harus ditinjau dari aspek hukum
administrasi negara. Sedangkan selanjutnya yaitu tahap fakta hukum mengenai
pelaksanaannya dan penyerahannya sejumlah dana Rp.40 milyar tersebut terdakwa I
kepada terdakwa II dan terdakwa III serta penyaluran selanjutnya, harus
ditinjau dari aspek hukum pidana dan dibuktikan atas dasar hukum pidana,”
Pembagaian
fakta tersebut adalah sudah tepat, menurut Philipus M Hadjon kedudukan terdakwa
I (Ir. Akbar Tandjung) adalah sebagai pejabat negara. Sebagai pejabat negara
yang mengemban wewenang pemerintahan pada dasarnya tunduk pada norma hukum
administrasi. Legalitas penggunaan wewenang pemerintahan harus diukur dengan
norma hukum administrasi, baik tertulis berupa peraturan perundang-undangan
maupun tidak tertulis berupa asas-asas umum pemerintahan yang baik.[49]
Dari aspek hukum administrasi ada tiga isu yang perlu ditelaan yaitu isu
keadaan darurat, isu kewenangan diskresioner (discretionery power), dan isu
penyalahgunaan wewenang.[50]
Berkenaan
dengan isu “keadaan darurat” MA mempertimbangkan “bahwa perbuatan terdakwa I
menerima uang non budgeter sebesar Rp.40 milyar, kemudia menyerahkannya kepada
terdakwa II untuk dibelikan sembako, adalah dalam rangka melaksanakan instruksi
Presiden sebagai hasil rapat terbatas Presiden B.J. Habibie, MENKO KESRATASKIN,
MENPERINDAG/KABULOG dan MENSESNEG, sehubungan keadaan darurat untuk tindakan
pengadaan sembako dan penyaluran sembako. Menurut Philipus M Hadjon, keadaan darurat
adalah situasi emergency dan dalam hubungan dengan situasi tersebut tidak ada
dasar hukum yang mengaturnya. Kondisi ini melahirkan discretionery power dalam
konsep hukum administrasi. Discretionery Power adalah sifat aktif dari
kekuasaan pemerintah, artinya dalam situasi dibutuhkan, pemerintah tidak boleh
berdiam diri hanya dengan alasan tidak ada ketentuan hukumnya.[51]
Berkenaan isu penyalahgunaan wewenang, MA
memberikan kesimpula bahwa “..apa yang dilakukan terdakwa I, yaitu menerima
dana bidgeter sebesar Rp.40 milyar kemudian diserahkan kepada terdakwa II untuk
digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan
merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada
terdakwa I baik selaku MENSESNEG maupun sebagai Koordinator yang menangani
program pengadaan dan penyaluran sembako.
Jadi
berdasarkan analisis terhadap putusan MA tersebut diatas dapat di ambil point
penting yaitu pertama terkait konsep jabatan sebagai subjek hukum serta pola
pertanggung jawabannya, kedua terkait penayalahgunaan wewenang dalam tindak
pidana korupsi harus memperhatikan dan menggunakan konsep hukum administrasi,
ketiga adalah berkaitan dengan kewenangan diskresi pemerintah yang timbul
karena adanya keadaan darurat.
BAB
II
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan terkait konsep diskresi dalam pengadaan barang dan jasa dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep
diskresi dalam pengadaan barang dan jasa terwujud dalam pemilihan metode
penunjukan langsung. Sebagai sebuah tindakan diskresi maka orientasinya adalah
kemanfaatan (doelmatigheid) sebagai salah satu nilai hukum yang hendak
diwujudkan.
2. Keberadaan
asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan rambu-rambu dalam melakukan
perbuatan diskresi, baik dari aspek prosedural maupun aspek substansial, untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat yang
melakukan tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa yang mengakibatkan
kerugian negara.
3. Kontrol
yudisial terhadap tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan
kontrol terhadap ada atau tidaknya perbuatan penyalahgunaan wewenang yang
mengakibatkan kerugian negara. Patokannya ada atau tidaknya penyalahgunaan
wewenang adalah tujuan dari kewenangan diskresi itu terwujud atau tidak,
sebagai konsekuensi diskresi berorientasi pada manfaat.
4. Dalam
hal hakim menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik untuk menguji
tindakan diskresi dalam pengadaan barang dan jasa harus menentukan dengan
jelas, asas apa yang menjadi pertimbangan hukum dalam mengambil keputusan
tindakan diskresi aparat pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-buku
Amiruddin,
2010, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publising, Yogjakarta.
D.
Darimurti, Krishna, 2012, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Kajian mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana Kontrol, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Muchsan,
2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara, Liberty, Yogjakarta.
Saidi,
Muhammad Djapar, 2011, Hukum Keuangan Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers,
Jakarta.
Witanto,
D.Y., 2012, Dimensi Kerugian Negara dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Resiko Kontrak dalam
Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah), Mandar Maju, Bandung.
II. Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 28
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Undang-Undang Nomor 9
tahun 2004 tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-undang nomor 31
tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kepres Nomor 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan
jasa pemerintah
Perpres Nomor 54 tahun
2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
III. Internet
Mukhaer
Pakkanna Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta, Parasit Ekonomi, http://stiead.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=140&Itemid=64 http://yogyakarta.kemenag.go.id/file/file/PERPRES/tdax1327649553.pdf
http://ekoprasojo.com/2012/04/03/korupsi-politik-dan-politik-korupsi/
[1]Mukhaer Pakkanna Ketua STIE Ahmad
Dahlan Jakarta, Parasit Ekonomi, http://stiead.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=140&Itemid=64 diakses pada tanggal 5/06/2012
jam 8:10
[4] Mengikat artinya rumusan
peraturan perundang-undangan sifatnya mendikte saja apa yang harus dilakukan
oleh penguasas yang bersangkutan sehingga penyelenggaraan pemerintahan yang
bersifat terikat ini merupakan pelaksaan dari asas wetmatigheid van bestuur.
Bersifat bebas, dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan memberi
ruang gerak kebebasan kepada pemerintah dalam penggunaan wewenang tersebut. Muchsan,
2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, hal 12-13
[5] Ibid
[6]
http://www.kamusbesar.com/9203/diskresi
[7] Pendekatan analitik akan
memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan konsep diskresi
pemerintah dan apa yang tidak, konsep diskresi dengan pendekatan yuridis akan
memandang diskresi sebagai produk hukum, suatu kondisi yang dituntut oleh hukum
untuk diadakan, secara filosofis diskresi
akan dipandang sebagai suatu konsep normatif produk dari sistem nilai
tertentu. Krishna D. Darumurti, 2012, Kekuasaan Diskresi Pemerintah kajian
Mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana Kontrol, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 13-14
[8] Ibid hal 25
[9] Pasal 1 angka (31) Perpres No.
54 tahun 2010
[10] http://yogyakarta.kemenag.go.id/file/file/PERPRES/tdax1327649553.pdf
[11] Amiruddin, 2010, Korupsi
Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publising, Jogjakarta, hal 40
[12] Pasal 35 ayat (1) Perpres No 54
tahun 2010
[13] Pasal 35 ayat (2) Perpres No 54
tahun 2010
[14] Perbandingan Pasal 35 ayat (2)
dan (3) Perpres No 54 tahun 2010
[15] Lihat pasal 38 Perpres No 54
tahun 2010
[16] Pasal 4 ayat (1)UU No 1/2004
[17] Pasal 5 ayat (1) UU No 1/2004
[18] Pasal 6 ayat (1) UU no 1/2004
[19] Pasal 1 angka (5) Perpres No
54/2010 Jo pasal 1 angka (12)UU No 1/2004
[20] Lihat pasal 8, 9 Perpres No
54/2010
[21] Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3)
Perpres No 54/2010
[22] Pasal 10 ayat (4) Perpres No
54/2010
[23]
http://kamusbahasaindonesia.org/pelimpahan
[24] Pasal 1 angka (7) Perpres No
54/2010
[25] Di antaranya adalah menetapkan
rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang meliputi spesifikasi teknis
barang/jasa, harga perkiraan sendiri (HPS) dan Rancangan Kontrak. Menerbitkan
Surat penunjukan Penyedia Bangrang/jasa, menandatangi, melaksanakan dan
mengendalikan pelaksanaan kontrak. Selain tugas pokok tersebut dahal hal
diperlukan diantaranya PPK dapat mengajukan perbuahan paket pekerjaan dan
perubahan jadwal kegiatan pengadaan.
[26] Pasal 1 angka (12) Perpres No
54/2010
[27] Lihat pasal 19-21 Perpres No
54/2010
[28] Krishna D. Darumurti, Kekuasaan
Diskresi Pemerintah... Op. Cit hal 69
[29]
Muchsan, 2007, Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha
Negara, Liberty, Jogjakarta, hal 29-31
[30] Dikutip oleh Amiruddin, Korupsi
dalam pengadaan barang dan jasa, Op. Cit hal 14-15
[31]D.Y. Witanto,2012, Dimensi
Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Resiko
Kontrak dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah), Mandar
Maju, Bandung, hal 64
[32] Ibid
[33] Amiruddin, Kerugian Negara...Op
Cit hal 202
[34]
Krishna. D. Darumurti
Kekuasaan Diskresi.... Op Cit hal 92
[35] Ibid hal 186. Ex tunc :
perbuatan yang akibatnya dianggap ada sampai pada pembatalannya.
[36] Muchsan, Sistem Pengawasan ....
Op. Cit hal 39
[37] Eko Prasojo, korupsi politik dan
politik korupsi,
http://ekoprasojo.com/2012/04/03/korupsi-politik-dan-politik-korupsi/
[38] Krishna D. Darumurti, Op. Cit
hal 99
[39] Lihat pasal 5 dan 6 Perpres No
54/2010
[40] Muhammad Djapar Saidi, 2011,
Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal 143
[41] Krishna D. Darumurti, Kekuasaan
Diskresi Pemerintah, Op. Cit hal 95
[42] Amirrudin, Korupsi dalam
Pengadaan Barang dan Jasa,, Op Cit hal 129
[43] Ibid hal 142-143
[44] Ibid hal 143-144
[45] Ibid hal 145
[46] Muchsan, Sistem Pengawasan... Op
Cit hal 19
[47] Amirrudin, Korupsi .... Op Cit
hal 145
[48] Ibid, hal 145, Philipus M Hadjon
dikutif oleh Amiruddin, arti maladministrasi berasal dari kata dasar Mal dalam bahasa latin malum artinya jahat (jelek). Kata
administrasi asal katanya administrare
dalam bahasa latin artinya melayani. Kalau dipadu menjadi maladministrasi
dengan pengertian dasar tadi, maladministrasi adalah pelayanan yang jelek. Bila
melihat pengertian yang diberikan Undang-undang No 37 tahun 2008 tentang
Ombudsman RI, maladministrasi adalah
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian
materil dan/atau immateril bagi masyarakat dan orang perorangan.
[49] Ibid hal 146-147
[50] Ibid
[51] Ibid hal 145