»

About Me

Selasa, 29 Mei 2012

gagasan penguatan sistem presidensial indonesia

 


EKSISTENSI SISTEM  PRESIDENSIAL INDONESIA
(Suatu Gagasan penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia)

Latar Belakang
Menjadi pertanyaan mengapa sistem pemerintahan suatu negara merupakan hal yang esensial dalam konstisusi. Jawabannya adalah suatu pemerintahan yang berjalan dengan sistem yang jelas akan menghadapi kesulitan untuk mencapai tujuan negara. Barangkali tidak berlebihan penulis mengatakan bahwa negara Indonesia belum bisa mencapai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar  1945 adalah mencakup empat hal, yaitu :
1.         Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.         Memajukan kesejahteraan umum.
3.         Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.        Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan keadilan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jelas bahwa tujuan negara itu adalah tanggung jawab pemerintah sehingga sistem pemerintahan negara merupakan hal yang pokok guna mewujudkan hal tersebut. Adanya gagasan pemurnian sistem presidensial yang sesuai dengan Indonesia merupakan suatu gagasan yang dimaksukan agar eksekutif tidak terlalu dipengaruhi oleh hal-hal diluar seperti poltik praktis partai politik dengan kata lain dikehendaki suatu pemerintahan yang lebih stabil. Memang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh partai poltik dalam menentukan sistem dan pola pemerintahan begitu kuat, karena konstitusi telah mengatur mengenai kedaulatan rakyat yang dilakukan menurut undang-undang Dasar. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diutarakan pendekatan dalam gagasan amandemen terkait sistem pemerintahan tidak cukup hanya dengan pendekatan yuridis namun dapat pula dilakukan pendekatan secara politik. Sehingga dalam tulisan ini penulis mencoba mengkobinasikan kedua pendekatan tersebut.
Dalam pemaparan mengenai sistem pemerintahan ada beberapa konsep yang harus diutarakan yaitu konsep mengenai sistem pemerintahan presidensiil. Dalam Ilmu Kenegaraan dikenal dua macam sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan presidensil dan sistem pemerintatahan Parlementer, semi presidensial dan referendum. Dalam hal ini perlu diperhatikan yang melatar belakangi kedua sistem ini. Yakni adanya teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan, diamana ajaran Pembagian dan pemisahan kekuasaan negara, demokrasi, negara hukum, negara berkonstitusi, dan ajaran Negara kesejahteraan, dan terakhir ajaran sistem pemerintahan apakah sistem referendum, sistem presidensil ataukah parlementer. Dalam tulisan ini penulis hanya membatasi pada konsep sistem pemerintahan presidensial dalam konstitusi Indonesia. Berdasakan Hal tersebut maka Penulis mencoba Mengemukakan isu Terkait Eksisteni Sistem Pemerintahan Presidensial (Suatu Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia)
Sistem Pemerintahan Presidensial
Secara teori untuk menentukan pola pemerintahan suatu negara didasarkan pada prinsip pembagian dan pemisahan kekuasaan. Dalam pembagian kekuasaan terdapat adanya kerjasama antara legislatif dengan eksekutif yang wujudnya melahirkan sistem pemerintahan parlementer. Sedangkan Pemisahan kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ssehingga melahirkan kekuasaan yang otoriter oleh seorang penguasa. Cikal bakal sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan antar kedua lembaga tersebut. Soehino merujuk pada pendapat Sir John A.R. Marriot dalam bukunya berjudul The Mechanism of the Modern state menyatakan ada perimbangan antara kedudukan eksekutif dengan legislatif, yang mana perimbangan itu dapat melahirkan tiga kemungkinan yaitu :
a.    Badan eksekutif berkedudukan sederajat dengan badan legislatif;
b.    Badan eksekutif berkedudukan lebih tinggi daripada legislatif;
c.    Badan eksekutif lebih rendah dari pada badan legislatif;
Berdasarkan kriteria tersebut negara dapat digolongkan menjadi :
a.    Negara yang memakai sistem pemerintahan presidensiil.
b.    Negara yang memakai sistem pemerintahan parelementer.[1]
Dengan demikian maka menurut Mariot hanya terdapat dua sistem pemerintahan. Hal ini dapat dibenarkan karena sistem yang lahir selain kedua sistem itu merupakan modifikasi dari kedua sistem tersebut. Misalnya sistem semu presidensial, merupakan kombinasi dari unsur pemerintahan parlementer dan presidensil. Sistem Presidensil itu merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan (head of goverment) sekaligus sebagai kepala Negara (head of state).[2] Hal ini diterapkan di Indonesia saat ini dimana presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. dalam sistem pemerintahan presidensil ini terdapat beberapa prinsip-prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu :
1.    Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;
2.    Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif preseiden tidak terbagi yang ada hanya preseiden dan wakil presiden saja;
3.    Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan;
4.    Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan yang yang bertanggung jawab kepadanya;
5.    Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya;
6.    Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen;
7.    Jika dalam sistem parlementer berlaku supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi; karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi;
8.    Eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat yang berdaulat;
9.    Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.[3]
Kesembilan prinsip pokok tersebut juga berlaku di Indonesia yang dikatakan sebagai penganut sistem presidensil, bahkan adanya keinginan untuk memperkuat sistem itu. Lebih lanjut Jimly Assiddiqie mengutarakan bahwa dalam sistem presidensil yang bersifat murni biasanya :
1.    Presiden memegang kekuasaan pemerintahan eksekutif tunggal;
2.    Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara itu terkandung pula status kepala negara (head of state), sehingga kepala negara dan kepala pemerintahan eksekutif (head of goverment) menyatu secara tidakterpisahkan dalam jabatan presiden;
3.    Presiden tidak diangkat atau dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat;
4.    Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat, sehingga tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena alasan politik;
5.    Presiden memangku jabatannya selama kurun waktu yang tetap (fixed term), misalnya amerika serikat ditentukan waktu empat tahun, di indonesia lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih lagi untuk satu periode berikutnya;
6.    Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya melalui prosedur yang dikenal dengan impeachment karena alasan melanggar hukum sebagai ditentukan dalam undang-undang dasar.[4]
Keenam ciri tersebut merupakan ciri sistem presidesil  murni, dari kesembilan ciri umum yang universal dan ciri-ciri yang khusus untuk sistem presidensil yang murni tersebut di Indonesia juga dianut demikian. Tetapi dalam tataran praktek ternyata tidak semudah yang dibayangkan, bahkan  Moh. Mahfud MD, mengutarakan bahwa sistem kita saat ini merupakan sistem Presidensil yang bergaya Parlementer dan lebih lanjut dikatakan bahwa sistem presidensial kita tak sekuat yang dibayangkan, penyebabnya adalah tidak singkronnya sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian[5]. Dengan demikian jelas bahwa di Indonesia merupakan suatu tantangan yang tidak mudah untuk melakukan dan melaksanakan sistem presidensil yang murni seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari dua partai saja. Pasca perubahan Undang-undang Dasar tahun 1945 maka sistem presidensil Indonesia secara konstitusional diperkuat dengan mempertegas lima prinsip pemerintahan presidensil seperti yang diutarakan oleh Jimly Assiddiqie dikutif oleh Mahmuzar, diantaranya:
a.         Walaupun pasal 4 ayat (1) UUD1945 hanya menyebutkan kekuasaan pemerintahan dipegangan oleh presiden, tetapi berdasarkan pasal 4 ayat (2) UUD 1945 dapat dilihat bahwa presiden dan wakil presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara tertinggi di bawah UUD, karena apabila presiden berhalangan, baik berhalalangan tetap maupun berhalngan sementara, maka kekuasaan presiden dijalankan oleh wakil presiden;
b.         Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung oleh rakyat dalam pemilu. Karena secara politik presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada pemilihnya;
c.         Presiden dan /atau wakil presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum dalam masa jabatannya apabila melakukang pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela dan mengalami perubahan sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan / atau wakil presiden;
d.        Para mentari merupakan pembantu presiden, menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dan karena itu bertanggung jawab kepada presiden, bukan bertanggung jawab kepada parlemen karena itu kedudukannya tidak bergantung pada parlemen;
e.         Ditentukannya masa jabatan presiden selama lima tahun, dan tidak  boleh dijabat orang yang sama lebih dari dua masa jabatan[6]
Pengaruh Struktur Politik dalam Pemerintahan
Dalam setiap sistem politik akan ditemui berbagai struktur politik. Struktur adalah suatu cara bagaimana sesuatu itu disusun/dibangun atau pola peranan yang kait mengkait atau hubungan sudah mapan di antara orang seorang dan atau organisasi. Di dalam suatu situasi, struktur ini relatif mempunyai unsur-unsur yang stabil, seragam dan terpola. Organisasi partai politik adalah suatu pola yang terbentuk berdasarkan suatu peran yang saling kait mengkait, sehingga juga disebut sebagai struktur, yaitu struktur politik. Jadi struktur politik adalah pelembagaan hubungan organisasi antara komponen-komponen yang membentuk bangunan politik. Struktur politik sebagai sebagai bagian dari struktur pada umumnya, selalu berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.[7]
Sistem Politik yang umunya berlaku di setiap negara meliputi dua struktur kehidupan politik yakni :
1.        Supra Struktur Politik
Supra Struktur Politik merupakan suasana kehidupan politik pemerintah (the govermental political sphere). Supra struktur politik tersebut merupakan mesin resmi di dalam suatu negara, merupakan penggerak politik formal. Suasana politik pemerintah dan lembaga politik itu dapat dilihat dalam konstitusi seperti lembaga legislatif lembaga eksekutif.
2.        Infra Struktur Politik
Infra Struktur politik terdiri lima unsur yaitu :
a.    Partai Poltik
b.    Kelompok Kepentingan
c.    Kelompok Penekan
d.   Media Komunikasi Politik
e.    Tokoh Politik
Partai Politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.  Dewasa ini partai politik tumbuh dan berkembang, lahir-lahirnya partai politik baru hal ini menunjukan bahwa partai sebagai unsur demokrasi berkembang dengan pesat. Dalam Undang –Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain menurut undang-undang tersebut Oleh Pakar Ilmu Politik Seperti Miriam Budiardjo mengatakan Partai Politik secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-angotanya mempuanyi orentasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kekuatan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.[8] Lebih lanjut Giovani Sartori mengatakan Partai Politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calonnya untuk menduduki jabatan publik.[9] Goerges Burdeau memandang partai politik itu dalam dua sifat, yakni partai ideologi yang menitik beratkan pada sifat atau ide atau doktrin politiknya; yang kedua adalah parti di’upinion yang menggunakan ide itu hanya sebagai dasar untuk  mencapai tujuan kenegaraan.[10] Berdasarkan dua sifat partai politik tersebut Koentjoro Poerbopranoto membagi dua fungsi dasar partai politik yang mana kedua fungsi tersebut saling berhubungan fungsi itu adalah[11] :
fungsi pertama adalah fungsi partai politik terhadap masyarakat yakni :
a.    Mempengaruhi dan membentuk pendapat umum;
b.    Memperoleh hasil dalam pemilihan umum;
Fungsi kedua adalah fungsi partai politik terhadap jalannya kenegaraan :
a.    Terhadapa badan-badan perwakilan
b.    Terhadap jalannya pemerintahan.
Dari definisi dan juga fungsi partai politik sebagaiman disebutkan tersebut jelas bahwa partai politik merupakan alat untuk memperoleh kekuasaan dengan jalan mengikuti pemilihan umum sebagai wujud dari pesta demokrasi. Pada saat ini timbul ketidak percayaan terhadap partai politik, hal ini cukup beralasan karena kenyataannya sebagian aknum kader partai politik yang tersandung kasus korupsi, sehingga hal ini menyebabkan animo masyarakat atas wibawa partai mengalami penurunan, hal ini cukup serius karena pada prinsipnya partai adalah perpanjangan aspirasi dari rakyat. Dan keberadaanya adalah suatu keharusan dalam kehidupan berdemokrasi terutama dalam menentukan siapa yang menjadi Wakilnya Rakyat dalam parlemen dan siapa yang menjadi Presiden/wakil Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial, dan kedua lembaga politik ini secara politik bertanggung jawab kepada rakyat sebagai kelompok yang diwakili, dan bertanggung jawab secara hukum yaitu terhadap Konstitusi.
Partai Politik merupakan Peserta Pemilu dan pemilu itu adalah salah satu cara pelaksanaan Demokrasi[12] Sehingga bagaimanapun juga partai merupakan salah satu pilar dalam kehidupan demokrasi yang sangat krusial. Pernah dikatakan bahwa “Seandainya tidak ada partai politik, maka terpaksa kita harus menciptakannya”.[13] Kalau partai politik yang sudah ada ternyata tidak maksimal  dan dukungan terhadapnya berkurang akankah lahir partai baru dengan visi yang baru pula atau setidak-tidaknya mampu menyalurkan apa yang menjadi kehendak rakyat kedepan dalam menentukan kebijakan umum yang tentunya mengarah kepada kepentingan rakyat. Di indonesia saat ini terdapat beberapa partai dan pula lahir partai-partai baru, hal ini menyebabkan dan mempengaruhi  pelaksanaan sistem presidensil di Indonesia ke depan.
Sistem Kepartaian Kaitannya Dengan Sistem Pemerintahan
Dalam kehidupan politik ketatanegaraan, oleh Maurice Duverger sistem kepartaian dikenal tiga kategori yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai, dan sistem multi partai.[14] Miriam Budiarjo memberikan penjelasan atas tiga sistem tersebut dimana diuraikannya sebagai berikut: Sistem Partai Tunggal, istilah ini dipakai untuk menunjukan kepada partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan yang dominan di antara partai yang lain. Pola partai tunggal terdapatdi beberapa negara seperti afrika,cina, dan kuba. Sistem Dwipartai, dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Dewasa ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi partai, yaitu inggris, amerika serikat, filipina, kanada, dan selandia baru. Menurut Peter G.J. Pulzer Sistem ini dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhi tiga syarat yaitu, komposisi masyarakat bersifat homogen, kedua adanya kensensus yang kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, dan yang ketiga adalah adanya kontinuitas sejarah. Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong kearah Sistem Multi Partai dan Sistem Multi partai sistem ini dianggap sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dari pada pola dwi-partai. Sistem ini berlaku dan diterapkan di Indonesia.[15]
Sistem Presidensial dalam Sistem Multi Partai
Berdasarkan sejarahnya Indonesia pernah menerapkan sistem Multipartai  yaitu mulai pada tanggal 14 November 1945 sampai dengan Agustus 1949 berlanjut lagi pada tahun 1949 sampai tahun 1950 dan pada tahun 1950-sampai tahun 1955, tahun 1955 sampai tahun 1950. Berdasarkan hal tersebut juga Indonesia juga pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Dengan demikian ternyata sistem multi partai adalah sesuatu yang tidak tabu lagi dilaksanakan di Indonesia. Tetapi perlu diperhatikan  apa yang dikatakan Rusadi Kartaprawira yang mengemukakan bahwa Sistem Pemerintahan Parlementer  yang diikuti sistem multipartai seperti terurai sebelumnya, menimbulkan instabilitas pemerintahan yang amat sangat. Dalam periode ini terdapat tujuh buah kabinet, ini berarti umur rata-rata kabinet hanyalah lebih kurang sekitar 15 bulan saja. Walaupun demikian dapat dicatat adanya kabinet tertentu yang berumur labih dari 2 tahun. Hal tersebut berarti bahwa terdapat kabinet sebelumnya yang mempunyai umur kurang dari 15 bulan (sebagai umur rata-rata tadi).[16]
Salah satu kesepakatan dasar berkaitan denga perubahan UUD 1945, adalah mempertegas sistem presidensial, Ni’matul Huda menyatakan bahwa mempertegas sistem presidensila bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara republik indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945.[17] Pasca Reformasi Indonesia juga menerapkan sistem multi partai, dengan memperkuat prinsip-prinsip sistem presidensil. Menurut Saldi Isra, purifikasi sistem pemerintahan presidensial dilakukan dalam bentuk: (i) mengubah sistem pemilihan presiden/wakil presiden dari pemilihan dengan sistem perwakilan (mekanisme pemilihan di MPR) menjadi pemilihan secara langsung; (ii) membatasi periodesasi masa jabatan presiden/wakil presiden; (iii) memperjelas mekanisme pemakzulan (impeachment) presiden/wakil presiden; (iv) larangan bagi presiden untuk membubarkan DPR; (v) memperbarui atau menata ulang eksistensi MPR; (vi) melembagakan mekanisme pengujian undang-undang (judicial review).[18] Berdasarkan pengalaman masa lalu kita menerapkan sistem pemerintahan parlementer dan sistem multi partai, sehingga apakah hubungan sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian yang berlaku. Dalam sistem pemerintahan Indonesia Dewasa ini sangatlah dilematis bila mencermati dengan teliti, disatu sisi kita menghendaki sistem presidensial yang kuat, tetapi di sisi yang lain pemerintahan terlihat lemah karena sistem kepartaian yang berlaku. Pakar Administrasi Publik Prof. Dr. Sofian Effendi, mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, di anggap bukan sistem pemerintahan presidensial penuh, hal ini disebabkan karena kita menerapkan sistem presidensial dengan sistem multi partai.[19] Lebih lanjut pula ditegaskan bahwa Konstitusi telah menerapkan sistem demokrasi mayoritas dengan pemilihan langsung dan sistem pemerintahann presidensial. Terkait hal tersebut ditegaskan pula bahwa sistem demokrasi mayoritas hanya cocok untuk masyarakat homogen, sementara kombinasi sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multi partai telah dibuktikan secara empiris tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan.[20] berdasarkan hal tersebut maka sistem pemerintahan yang cocok adalah sistem semi presidensiil, sistem parlementer, atau sistem dewan eksekutif.[21]
Dalam hal yang seperti itu maka Koalisi adalah cara yang paling mampu untuk menyelesaikan dilematis tersebut. Denny Indrayana mengatakan bahwa sistem presidensial yang efektif paling tidak dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : Faktor Kepribadian Presiden (Personality), Kewengangan Konstitusi (Konstitutional Power), dan dukungan Politik (Political Support).[22] Namun lebih jauh pula telah ditawarkan mengenai rumusan sistem presidensial, dimana sistem presidensial yang efektif tersebut lebih mungkin terjadi jika kewenangan konstitusional, ditambah dukungan politik, dengan tidak menghilangkan kontrol atas kekuasaan Presiden. Adapun Rumusannya adalah sebagai berikut:[23]
PE = KK + DP + K
PE   : Presidensial Efektif
KK : Kewenangan Konstitusional
DP : Dukungan Politik
K    : Kontrol
Ketiga Indikator terebut harus secara akumulatif seimbang agar dapat mewujudkan sistem presidensil yang efektif, kewenangan konstitusi yang cukup bukan berarti berlebihan, karena sejarahnya Indonesia pernah mempunyai konstitusi yang executive heavy, yaitu sebelum perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002.[24]
Dalam sistem presidensial yang kuat secara konstitusional maka presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, karena memang demikian ciri khasnya sistem presidensial, namun apakah mampu dijalankan secara efektif tanpa dukungan partai politik, tentu adalah suatu keniscayaan itu dapat dilakukan tanpa dukungan politik. Dalam hal ini koalisis adalah cara yang dapat diambil oleh Presiden. Secara teoritis Untuk mencoba memperkuat sistem pemerintahan baik itu dalam sistem pemerintahan presidensiil ataupun parlementer maka koalisi adalah jalan yang dapat ditempuh terutama bila tidak ada mayoritas di parlemen. Secara teori Lijpart mengajukan beberapa model koalisi besar yaitu Koalisi minimal pemenang, koalisi jumlah minimum, koalisi jumlah partai terbatas, koalisi rentan idiologis terbatas, dan koalisi hubungan terbatas.[25] Koalisi dapat dibagi berdasarkan besar-kecilnya serta berdasarkan soliditasnya. Untuk koalisi berdasarkan besar kecilnya ada tiga jenis koalisi yaitu : koalisi kekecilan (undersized coalition), koalisi kebesaran (oversized coalition) dan koalisi pas terbatas (minimal winning coalition). Dari ketiga jenis koalisi ini yang paling ideal adalah yang ketiga dengan memadukan koalisi yang solid dalam hal ini koalisi ideologis.[26]
Menjalankan sistem presidensial dengan sistem multi partai adalah sesuatu yang sulit, Mainwaring mengemukakan bahwa The combination of presidentialism and multipartism is complicated by the dificulties of interparty coalition-building in presidential democracies.[27] lebih lanjut juga dijelaskan jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi partai dalam sistem pemerintahan presidensial. Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai poltik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[28] Bila melihat apa yang telah diutarakan oleh Mainwaring tersebut maka keadaan tersebut tidak terhindarkan terjadi di Indonesia, siapa pun Presidennya pasti akan menghadapi masalah yang sama dalam menjalankan pemerintahan.
Partai politik sebagai organisani perantara negara dan penghubung antara rakyat dan rakyat, dan juga partai politik sebaggai perantara atau penghubung berbagai kepentingan dengan dimikian menunjukkan adanya interaksi antara supra struktur dengan infra struktur politik. Ditengah berkurangnya kepercayaan terhadap partai politik maka adalah pekerjaan yang ekstra bagi para politisi untuk meningkatkan wibawa partai politiknya masing-masing dalam hal ini misalnya harus berlomba agar tidak korupsi, karena isu korupsi adalah isu paling banyak dibicarakan. Dalam sebuah negara yang dikatakan negara demokrasi tentu peran dan status partai politik sebagai group sosial perlu memperhatikan dan menjalankan fungsinya secara baik dan benar dan konkrit. Dalam hal ini partai merupakan organisasi yang mempunyai tanggung jawab untuk menumbuhkan pembangunan politik, dalam hal ini segala aspirasi rakyat dijelmakan dalam bentuk kebijakan dan program-program yang bermanfaat bagi rakyat. Karena demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Korelasi antara Pembangunan politik dengan  Demokrasi adalah Bahwa Pembangunan Politik adalah, seharusnya sama dengan, pembentukan lembaga-lembaga dan praktek-praktek demokratis. Dalam pandangan banyak orang tersirat asumsi bahwa satu –satunya bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan demokrasi.[29] Dengan demikian bahwasannya pembangunan politik sama halnya dengan pembangunan demokrasi. Oleh Prof. Moh. Mahfud MD, pilar-pilar demokrasi itu mempunyai empat pilar utama yakni, lembaga legislatif atau parlemen sebagai tempat wakil rakyat, lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan negara dalam arti sempit, lembaga yudikatif sebagai tempat memberi putusan hukum dan keadilan dalam melaksanakan Undang-undang dan Pers sebagai alat kontrol masyarakat.[30] Berkaitan dengan sistem yang kita anut yaitu sistem presidensil ini maka sistem ini akan mempengaruhi hubungan antar pilar-pilar Demokrasi yang diutarakan diatas dengan demikian korelasinya jelas. Dalam sistem Presidensial murni  pemisahan kekuasaan yang tegas dan penegasan cecks and balances merupakan hal yang utama supaya di antara pilar-pilar tersebut saling mengawasi dan mengimbangi sehingga pemerintahan yang demokratis dapat terwujud dalam berbagai kebijakan dan program. Hubungan eksekutif dengan legislatif merupakan adalah sederajat sehingga dalam sistem presidensil kedua lembaga ini tidak dapat saling menjatuhkan. Fungsi utama parlemen adalah pungsi pengawasan dan legislasi dan fungsi tambahan yang terkait erat dengan kedua fungsi itu adalah fungsi anggaran, namun secara lebih luas fungsi parlemen itu dibedakan dalam tiga macam, yaitu : pengaturan, pengawasan dan fungsi perwakilan atau representasi.[31] Dalam hal ini yang menjadi pokoknya adalah fungsi pengawasan karena prinsip cekc and balances itu sendiri adalah sisi kontrol terhadap yang satu dengan yang lain atau saling mengontrol.  Dalam Sistem Presidensial Indonesia masih belum diaturnya Hak Veto Presiden untuk menolak Rancangan Undang-Undangan yang diusulkan Parlemen, padahal bila hendak memurnikan sistem presidensial maka syarat tersebut dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian akan memberikan ceck and balances antara kekuasaan eksekutif dengan legislatif.
Presidensial dengan sistem multi partai dan tidak ada yang memenangkan secara mayoritas di parlemen sehingga terjadi kubu-kubu dan koalisi. Dalam hal inilah partai politik bermain memanfaatkan keadaan hal mana memang demikian adanya, koalisi adalah suatu keharusan mengingat dukungan partai politik sangat diperlukan dalam menjalankan roda pemerintahan yang sebenarnya dikenal di dalam sistem parlementer, namun di Indonesia diterapkan demikian. Sehingga kemudian timbul gagasan untuk menyederhanakan partai jumlah partai agar efektifitas pemerintahan guna mengakselerasi pembangunan.

Pengetatan Ambang Batas Parlemen (Parliementary Threshold)
Dalam rancangan undang-undang Pemilu saat ini masih tarik ulur mengenai persentase ambang batas Parlementary threshold. Bila melihat rancangan pemilu maka idealnya kita menghendaki sistem presidensil dengan sistem multi-partai sederhana. Disamping hal tersebut dalam aksi pesta demokrasi dengan sendirinya akan terjadi proses penilaian oleh rakyat terhadap partai politik. Sehingga akan menjadi kesempatan bagi partai-partai untuk berjuang memperoleh simpati rakyat, tentu dengan cara-cara tertentu yang biasa dilakukan oleh partai politik dalam infra struktur politik.
Penguatan Peran DPD
Dalam sistem presidensial yang begitu dipengaruhi oleh sistem perpolitikan yang saat ini berlangsung di Indonesia yaitu sistem multi partai maka keberadaan Dewan Perwakilan Daerah memiliki posisi yang sangat penting sebagai badan non parpol di parlemen yang dapat memberikan keseimbangan di parlemen itu sendiri, karena dengan kuatnya posisi DPD nantinya dapat melakukan kontrol terhadap DPR atau saling mengawasi satu dengan yang lainnya.
Penutup
Kesimpulan
1.        Dalam sistem pemrintahan multi partai ternyata baik dalam sistem pemerintahan presidensil maupun parlementer adalah sulit dalam pelaksanaannya dikarenakan oleh tiap negara memiliki ciri khasnya terendiri. Terkait Sistem Presidensial maka penyederhanaan partai politik peserta pemilu perlu diperketat agar nantinya sistem presidensial tidak terikat oleh kepentingan poliltik, dan juga dalam konstitusi perlu dipertegas sistem presidensial dalam proses legislasi, khusus Mengenai Hak Veto Presiden Untuk Menolak Rancangan Undang-Undang.
2.        Selain gagasan tersebut kiranya tidak kalah pentinnya untuk memperketat ambang batas parlemen (parlemen threshold) sehingga terjadi koalisi yang disiplin dan solid guna menjalankan roda pemerintahan yang bersarkan Konstitusi.
3.        Dalam sistem presidensial partai politik harus membangun kesadaran poltik yang mengarah kepada budaya politik yang baik karena membangun politik adalah membangun demokrasi.
Saran
Perlunya amandemen UUD 1945, sehubungan dengan sistem pemerintahan presidensial. Mengingat kesepakan awal amandemen Undang_undang Dasar 1945 adalah mempertegas sistem pemerintahan Presidensial.




[1] Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm, 221
[2] Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Buana Populer, Jakarta, 2007,  hlm, 311
[3] Ibid hlm, 316
[4] Ibid hlm, 335
[5] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm, 353
[6] Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm, 141-142
[7] Arifin Rahman,Sistem Politik Indonesia (dalam Perspektif Struktural Fungsional), SIC, Surabaya, 1998
[8] Mirian Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm, 403-404
[9] Ibid, hlm. 404
[10] Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, PT Eresko, Bandung, 1987 hlm 50
[11] Ibid, hlm 50
[12] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media Offset atas Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Fondation, Yogyakarta, 1999, hlm, 220
[13] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik...Op. Cit, hlm. 422
[14] Ibid, hlm, 415
[15] Dirangkum Dari Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ibid, hlm, 415-418
[16] Moh. Mahfud MD, Demokrasai dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm, 49
[17] Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003 hlm 14
[18] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta, 2010 hlm, 63
[19] Sofian Effendi, Reformasi Tata pemerintahan (Menyiapkan Aparatur Negara untuk Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi Terbuka), Gadjah Mada Unicersity Press, Yogyakarta, 2010, hlm, 7
[20] Ibid, hlm, 41
[21] Ibid, hlm,42
[22] Denny Indrayana, Indonesia Optimis, PT Bhuana Ilmu Populer, cet III, Jakarta, 2011, hlm, 19
[23] Ibid, hlm, 134-135
[24] Ibid, hlm, 138
[25] Sofian Effendi, Reformasi Tata Pemerintahan... Op. Cit, hlm, 40
[26] Denny Idrayana, Indonesia Optimis... Op. Cit,  hlm, 103-104
[27] Dikutif Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi .... Op. Cit hlm 275
[28] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi .... Ibid, hlm 275
[29] Yahya Muhaimin dan Colin MacAndrews (Editor), Masalah-masalah Pembangunan Politik, Gadjah Mada University Press, 1981, hlm, 11
[30] Moh. Mahfud MD, Hukum Dan Pilar-Pilar... Op Cit,  hlm, 2
[31] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara,... Op. Cit,  hlm, 160

0 komentar: