BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Keberadaan Peradilan
tata usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara merupakan salah satu syarat sebuah negara yang berdasarkan atas hukum. Negara Indonesia adalah negara hukum, dan konstitusi
mengatakan Indonesia adalah Negara Hukum, demikian tertulis dalam Konstitusi
Tertulis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945. Pada abad ke 19 dan permulaan ke abad ke 20 gagasan mengenai
Negara hukum ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Istilah Rechtstaat untuk
Eropa Kontinental, yaitu pendapat Friedrich Julius Stahl[1] :
a. Hak-hak
asasi manusia
b. Pemisahan
atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.
c. Pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan
d. Peradilan
administrasi dalam perselisihan.
Prof
Dr. Muchsan SH, Peradilan Administrasi memiliki kompetensinya sendiri, sehingga
hanya sengketa-sengketa administrasi sajalah yang diperiksa dan diadili oleh
pengadilan administrasi. Sedangkan suatu sengketa dapat dianggap sebagai
sengketa administrasi, apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut[2] :
a. Adanya
suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum serta terletak dalam
lapangan HTN atau HAN, yang dapat diterapkan pada suatu perselisihan;
b. Adanya
suatu perselisihan yang konkret;
c. Adanya
sekurang-kurangnya dua pihak, di mana salah satu pihak ataupun ke dua-duanya
merupakan alat administrasi negara yang sedang menjalankan fungsinya;
d. Adanya
suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan tersebut.
Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai
objek gugatan di Pengadilan TUN yang dalam beberapa tahun terakhir ini marak
digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa Surat Keputusan, dimana
Pejabat yang menerbitkannya secara formal berada di luar lingkup Tata Usaha
Negara, tetapi substansinya merupakan urusan pemerintahan, misalnya:
Surat-surat Keputusan Ketua DPRD mengenai penentuan bakal calon Bupati,
Walikota, dan sebagainya, ataupun juga Surat-surat Keputusan Ketua Partai
Politik, dan sebagainya..
Demikian
juga, ada gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa surat-surat Keputusan
Pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada di luar
urusan pemerintahan (eksekutif), misalnya: dibidang ketatanegaraan, atau
berkaitan dengan bidang politik. Sebagai contoh, surat keputusan Menteri dalam
negarai yang melantik Bupati dan wakil Bupati pun di gugat di pengadilan tata
usaha negara[3].
Dalam bidang Hukum Tata Usaha Negara ada beberapa macam keputusan tata usaha
negara yang dikecualikan yang bukan menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
yaitu :
Pasal 2
butir (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 2 butir (1) UU No. 9 Tahun 2004, yang
berbunyi:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara menurut Undang-Undang ini:
(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
(2) Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat umum
(3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan
(4)Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
bersadarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain
yang bersifat hukum pidana.
(5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikelauarkan atas
dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai angkatan bersenjata
republik indonesia
(7) Keputusan Panitia Pemilihan, baik di Pusat maupun
di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Berdasarkan
hal tersebut maka timbul permasalahan yaitu Bagaikanakah Konsekuensi Yuridis dikecualikannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang Bersifat Politik dalam
perkembangan Hukum Tata Usaha Negara ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Yurisdiksi Peradilan Tata Usaha
Negara
Kompetensi
absolut Peradilan TUN diatur di dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986
yang berbunyi:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Berdasarkan
rumusan Pasal 1 Angka (3) di atas dapat dipahami bahwa suatu KTUN adalah produk
yang diterbitkan oleh Pejabat TUN (atau Jabatan TUN) berdasarkan wewenang yang
ada padanya (atributie) atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintah
(delegatie). Selanjutnya apa yang dimaksud dengan “urusan pemerintah”?
Penjelasan
Pasal 1 Angka (1) menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan”
ialah “kegiatan yang bersifat eksekutif”. Dengan demikian, tidaklah termasuk di
dalamnya kegiatan yang bersifat legislatif dan yudikatif (jika bertitik tolak
pada teori trias polika Montesquieu dalam ketatanegaraan mengenai pembidangan
kekuasaan Negara).
Salah satu
kata kunci yang penting dalam suatu KTUN adalah adanya “wewenang” atau
“kewenangan” yang selalu harus ada dan yang menjadi dasar berpijak bagi Pejabat
TUN untuk dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dan khususnya dalam hal ini
adalah menerbitkan keputusan-keputusan TUN sebagai salah satu instrumen yuridis
dalam menjalankan pemerintahan. Wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan
tersebut dapat dilakukan melalui perbuatan atau tindakan yang bersifat atau
menurut hukum publik, maupun yang bersifat atau menurut hukum privat.
Salah satu
ciri yang terpenting dalam penerapan wewenang menurut hukum publik tersebut
(terutama dalam menerbitkan Keputusan-keputusan TUN) adalah bahwa penerapan
wewenang yang demikian itu membawa akibat atau konsekuensi hukum, yaitu
lahirnya hak dan kewajiban yang bersifat hukum publik bagi warga masyarakat
yang bersangkutan, kewenangan mana dapat dipaksakan secara sepihak (bersifat
unilateral).[4] Pada
dasarnya wewenang hukum publik dikaitkan selalu pada jabatan publik yang
merupakan organ pemerintahan (bestuurs orgaan) dan menjalankan
wewenangnya dalam fungsi pemerintahan, yang dalam segala tindakannya selalu
dilakukannya demi kepentingan umum atau pelayanan umum (public service).
Pada organ pemerintahan yang demikian, melekat pula sifatnya sebagai pejabat
umum (openbaar gezag). Pasal Angka (2) UU No. 5 Tahun 1986 merumuskan
Badan atau Pejabat (jabatan) TUN secara sangat umum, yaitu bahwa:
Badan atau
Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rumusan di atas sedemikian luasnya, sehingga “Apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut undang-undang ini ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN”.
Rumusan di atas sedemikian luasnya, sehingga “Apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut undang-undang ini ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN”.
B.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang Dikecualikan
Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 sebagaiaman telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
menyebutkan bahwa :
Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
1
Keputusan Tata Usaha Negara
yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2
Keputusan tata usaha negara
yang bersifat umum
3
Keputusan tata usaha negara
yang masih memerlukan persetujuan
4
Keputusan tata usaha negara
yang dikeluarkan bersadarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5
Keputusan tata usaha negara
yang dikelauarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
6
Keputusan tata usaha negara
mengenai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
7
Keputusan Panitia
Pemilihan, baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Menurut
Prof. Dr. Muchsan, SH,[5]
dalam Hukum tata usaha negara ada Keputusan tata usaha negara yang dikecualikan
yaitu :
a. KTUN
yang bersifat Kontraktual
b. KTUN
yang dikeluarkan dalam keadaan darurat
c. KTUN
yang bersifat umum.
d. KTUN
dibidang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
e. KTUN
yang bersifat Politik.
C. Pengecualian KTUN yang Bersifat
Politik
Dalam beberapa kasus
ternyata banyak gugatan yang diajukan merupakan Keputusan Tata usaha negara
yang bersifat Politik, misalkan gugatan tersehadap Surat Keputusan Menteri
dalam Negeri yang memlantik dan mengangkat Bupati/wakil Bupati yang dimengkan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 2 huruf
g Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan digabung terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara), menyiratkan bahwa keputusan keputusan atau ketetapan-ketetapan
yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan baik di tingkat Pusat maupun di tingkat
Daerah mengenai hasil Pemilihan Umum, tidak dapat digugat di Peradilan Tata
Usaha Negara.
Dalam Surat Edara
Mahakamah Agung Nomor 7 tahun 2010 mengatakan bahwa : Ketentuan tersebut secara tegas dan
eksplisit menyebutkan "hasil pemilihan
umum ", hal mana menunjukkan bahwa yang dituju
adalah keputusan yang berisi hasil pemilihan
umum sesudah melewati tahap pemungutan
suara dan yang dilanjutkan dengan penghitungan suara. Dalam hal ini perlu dibedakan dengan tegas
antara dua jenis kelompok keputusan,
yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan PEMILUKADA, dan di lain
pihak keputusan-keputusan yang berisi
mengenai hasil pemilihan umum.[6]
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa keputusan KPUD yang terkait
penetapan calon dan sebagainya sebelum dilakukan pemungutan suara adalah
keputusan tata usaha negara yang dapat dijadikan Objek Gugatan di Peradilan
Tata Usaha Negara. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian para pengacara dalam
melayani klaiennya karena terdapat beberapa kasus yang sebenarnya bukan ranah
PTUN di gugat di PTUN, padahal di dalam beberapa kasus pula itu menjadi
Kompetensi Mahkamah Konstitusi. Misalkan keberatan terhadap recall yang
dilakukan partai Politik terhadap Anggotanya di Parlemen/ DPR/ DPRD, itu
merupakan otoritas partai politik jadi baik permohonan terhadap undang-undang
yang mengatur tentang DPR, MPR, DPRD itu adalah kewangan Mahkamah Konstitusi,
begitu pula Keputusan Keputusan tata usaha negara yang bersifat politik terkait
hal tersebut bukanlah kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi Kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Indroharto mengatakan
bahwa walaupaun keputusan panitia itu benar merupakan keputusan (Beschikking),
namun apabila setiap keputusannya mengenai hasil pemilihan umum itu dapat
disengkatan di Peradilan tata usaha negara yang akibatnya bisa batal keputusan
panitia pemilihan yang bersangkutan itu, maka dikhawatirkan akibat negatifnya
akan sangat besar dan luas serta berdampak politis yang besar. Jadi alasan
pengecualian ini sebenarnya berada diluar bidang hukum.[7] Alasan tersebut bersifat metayuridis
kendatipun demikian dalam perkembangannya KTUN yang dikecualikan khususnya yang
bersifat politik sudah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat
dikatakan alasan tersebut sudah bahkan mempunyai alasan yang bersifat yuridis.
Sebagai contoh hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU di gugat di
Mahkamah Konstitusi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsekuensi yuridis
Keputusan tata Usaha negara yang bersifat Politik pengaruhnya terhadap
perkembangan Hukum Tata Usaha Negara Di Indonesia, memberikan dinamika hukum
tata usaha negara itu sendiri, dimana adanya gugatan yang objeknya KTUN yang
bersifat Politik. Ada beberapa
hal
yang perlu diperhatikan :
Yang pertama adalah
KTUN yang bersifat politik itu bukanlah Keputusan Tata usaha Negara yang dapat
di gugat di PTUN karena Pejabat yang mengeluarknya bukan dalam rangka
menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif),
Yang kedua KTUN Oleh
KPU/KPUD pra Pemilu/Pilkada keputusanya merupakan keputusan yang bersifat
eksekutif sehingga dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Yang ketiga adalah KTUN
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan di bidang Partai politik,
Partai Politik bukanlah lembaga Pemerintah sehingga segala keputusan yang
terkait pemberhentian dan pengangkatan Anggota DPRD/DPRD merupakan keputusan
yang bersifat politik terlebih lagi anggota partai politik tunduk pada AD/ART
Partai Politik, sehingga menjadi kompetensi MK dan bukan PTUN untuk memberikan
pendapat hukum.
Keempat adalah KTUN
yang Bersifat Politik berdasarkan Putusan Yang bersifat tetap,yakni Putusan MK
terkait sengketa Pemilu/Pemilukada tidak dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha
negara, karena Melanggar asas Nebis In Idem.
[1]
Seperti disebut dalam Oemar
Seno Adji dalam Miriam Budiardjo, 2010,
Dasar-Dasar Ilmu Politik, Pustaka Utama, Jakarta, hal 113
[2] Muchsan, Beberapa Catatan Tentang
Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia,
Liberty, Jogjakarta, 1981, hal 49-50
[3]Kalteng Pos, 24 maret 2012, Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dalam amar keputusan no 153 tahun 2012 memenangkan
gugatan pasangan Sugianto - Eko Soemarno (SUKSES) terhadap putusan Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) yang melantikan Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kobar
Ujang Iskandar - Bambang Purwanto (UJI-BP) 30 Desember 2011 lalu.
[4] Dalam Kuliah Pernah Disampaikan
Oleh Prof Dr Muchsan SH dalam Kuliah
Hukun Tata Usaha Negara pada Program Magister Hukum UGM Tanggal 30 Maret 2012 ,
Bahwa sebenarnya Perbuatan Hukum Publik Pasti bersifat sepihak” Perbuatah Hukum
Publik yang Dua Pihak itu sebenarnya “diperdatakan”
sedangkan perbuatan hukum Privat Pasti Dua Pihak.
[5] Muchsan, Disampaikan Pada
Perkuliahan Hukum tata Usaha Negara Program Magister Hukum UGM, Yogjakarta,
tanggal 13 April 2012.
[6] Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 7 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum
Kepala Daerah
[7] Dalam Bukum Padmo Wahyono dkk,
Pejabat sebagai Calon Tergugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Editor PJJ.
Sipayung, diterbitkan atas kerjasama dengan KOPRIM PRAJAMUKTI I Departemen
Dalam Negeri Republik Indonesia sesuai dengan Surat persetujuan Kerjasma yang
ditandatangai tanggal 15 agustus 1989, penerbit CV Sri Rahayu, Jakarta 1989.
Hal 133
1 komentar:
mantap bro...!!! ^_^, o iya sedikit saran dari saya, postingannya diatur lagi agar lebih rapi & menarik, salah satu contohnya: jarak BAB II-nya agak jauh,
Keep Update bro...
Posting Komentar